REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan sedang mengkaji usulan harga penjualan kendaraan roda empat di bawah Rp 250 juta tidak dikenai pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP). Hal ini mengingat implementasi stimulus tersebut mampu menghasilkan peningkatan penjualan kendaraan roda empat.
“Seperti yang diberitahukan Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani), bahwa usulan tersebut sedang tahapan kajian,” ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo ketika dihubungi Republika, Kamis (6/1).
Pada Maret sampai November 2021, penjualan mobil yang menjadi peserta program stimulus PPnBM DTP sebanyak 428.947 unit atau meningkat 126,6 persen dari periode sama tahun sebelumnya sebanyak 189.364 unit.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan peningkatan penjualan mobil tersebut, industri alat angkut pada kuartal II dan III 2021 juga merasakan dampak positif. Pertumbuhannya pada masing-masing periode sebesar 45,2 persen year on year (yoy) dan 27,8 persen yoy.
“Selain itu, 319 perusahaan industri komponen tier 1, serta industri komponen tier 2 dan 3 yang sebagian besar merupakan Industri Kecil dan Menengah (IKM) bisa terlibat dalam proses manufaktur. Itu lewat adanya kebijakan diskon PPnBM tersebut,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Menurutnya kendaraan bermotor roda empat dengan kapasitas di bawah 1.500 cc dengan harga penjualan yang berada kisaran Rp 250 juta menguasai segmen pasar sekitar 60 persen.
“Hal ini menunjukkan kendaraan dengan jenis tersebut mendominasi pasar mobil di dalam negeri, dan sesuai daya beli masyarakat. Sehingga, kami berpendapat bahwa mobil dengan harga di bawah Rp 250 juta bukan lagi merupakan barang mewah, namun telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat,” ucapnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan salah satu hal yang menjadi kajian bersama Presiden Jokowi terkait besaran pembebasan PPnBM yang mampu meningkatkan demand.
"Untuk (bebas) PPnBM mobil kita belum putuskan. Bapak presiden minta dikaji lagi terutama dikaitkan dengan apakah demand-nya sudah meningkat cukup bagus, jadi kita akan lihat," ujarnya usai Panitia Seleksi OJK di Kementerian Keuangan, Jumat (31/12).
Hal ini berbeda dengan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) properti, yang sudah diputuskan kembali dibebaskan pada 2022 karena ditanggung pemerintah. Hal ini karena pertimbangan perkembangan sektor perumahan yang memang masih tertinggal.
"Yang kemarin sudah diputuskan adalah PPN perumahan atau konstruksi yang belum meningkat, masih agak tertinggal. Manufaktur dan perdagangan sudah mulai bergerak cukup kuat. Jadi kita akan menggunakan instrumen tersebut secara selektif," ucapnya.