REPUBLIKA.CO.ID, —Saat menjalani pengasingan sebagai tahanan kolonial, Pangeran Diponegoro menulis autobiografi yang kemudian berjudul Babad Diponegoro.
Melalui teks yang sekarang berstatus Memory of the World versi UNESCO itu, Sang Pangeran yang bergelar Raden Mas Ontowiryo ini menuturkan perjalanan hidupnya.
Kisah bermula ketika Pangeran Diponegoro yang berusia tujuh tahun diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalreja. Kompleks tersebut berada sekitar tiga kilometer sebelah barat Keraton Yogyakarta.
Pada waktu itu, Ratu Ageng sudah berusia 60 tahun. Menyingkirnya dari Keraton lantaran tidak tahan dengan gaya hidup anaknya, Sultan Hamengkubuwono II, penguasa Yogyakarta saat itu.
Babad Diponegoro mengenang perempuan ini sebagai sosok yang saleh dan berjiwa kesatria. Di masa mudanya, Ratu Ageng pernah menjadi komandan regu putri pengawal raja. Selain itu, bersama dengan suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, dia bertempur melawan Belanda hingga ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
Meskipun berstatus ningrat, Ratu Ageng hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Secara tidak langsung, Pangeran Diponegoro belajar kesetaraan melalui keturunan pendiri Kesultanan Bima itu.
Ratu Ageng juga memberikan teladan hidup berdikari. Dalam usia renta, sosok yang akrab dengan dunia pesantren ini tidak begitu bergantung pada Keraton.
Sawah miliknya yang diolah para petani sekitar Tegalreja mencukupi kebutuhannya. Dari ajaran Ratu Ageng pula, kata Peter Carey, Pangeran Diponegoro menjadi mandiri ketika dewasa.
Sebagai contoh, pada awal Perang Diponegoro, sang pangeran sanggup membiayai sendiri pasukannya. Keteladanan yang paling penting dari Ratu Ageng ialah kecintaannya pada ilmu-ilmu agama.
Kompleks Tegalreja sering mengundang dan juga menjadi kediaman alim ulama untuk memberikan pengajaran.
Hal ini didukung letak permukiman ini yang memang cukup dekat dengan tiga pathok negara pengajar Islam untuk kesultanan, yakni Kasongan, Papringan, dan Melangi.