REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, tercatat 207 konflik agraria di Tanah Air sepanjang 2021. Meski secara angka total kasus menurun dibanding tahun sebelumnya, tapi terjadi lonjakan konflik agraria pada sektor infrastruktur, terutama terkait pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sekjen KPA Dwi Kartika menjelaskan, total 207 konflik agraria sepanjang 2021 ini semuanya bersifat struktural. Semua konflik agraria itu berkaitan dengan lahan seluas setengah juta hektare (ha). Adapun warga terdampak sebanyak 198 ribu kepala keluarga (KK).
"Meski dari sisi jumlah kejadian mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (241), tetapi jumlah korban terdampak naik drastis. Dari 145.337 KK pada 2020 menjadi 198.858 KK pada 2021," kata Dwi dalam konfrensi pers daring Catatan Akhir Tahun KPA, Kamis (6/1).
Dwi mengatakan, sebanyak 207 kasus itu tersebar di 32 provinsi. Terbanyak di Jawa Timur dengan 30 kasus, lalu Jawa Barat 17 kasus, dan Riau 16 kasus.
Jika dibagi berdasarkan sektornya, kata dia, maka sektor perkebunan menduduki peringkat pertama dengan 74 kasus. Kedua, sektor infrastruktur dengan 52 kasus. Ketiga, sektor tambang dengan 30 kasus.
Dwi menjelaskan, konflik agraria pada sektor perkebunan memang selalu jadi yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yang mengejutkan dari data tahun 2021 adalah peningkatan signifikan konflik agraria pada sektor infrastruktur (naik 73 persen) dan pertambangan (naik 167 persen).
Dwi pun menyoroti kenaikan kasus pada sektor infrastruktur, yang terkait lahan seluas 8.604 ha. Sebab, kasus didominasi oleh aktivitas pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PNS). Dari 52 kasus konflik agraria pada sektor infrastruktur, sebanyak 38 di antaranya terkait PSN.
"Kalau kita bandingkan dengan tahun 2020, maka konflik agraria akibat PSN ini mengalami lonjakan tinggi sebesar 123 persen. Dari 'hanya' 17 kasus di tahun 2020 menjadi 38 kasus," ujarnya.
Lebih lanjut, Dwi mengatakan konflik agraria terkait PSN terbanyak diakibatkan oleh pembangunan jalan tol dengan 16 kasus dan pembangunan pembangkit listrik delapan kasus. Lalu ada juga konflik akibat pembangunan bandara, jalur kereta api cepat, bendungan, dan fasilitas pariwista.
Menurut Dwi, meningkat tajamnya konflik agraria terkait PSN terjadi karena ambisi besar pemerintahan Jokowi menuntaskan proyek-proyek tersebut. Proyek-proyek itu ditopang beragam regulasi sejak 2020 dan dipercepat pada 2021. Tapi, pengerjaannya mengandung banyak masalah sejak proses perencanaan hingga eksekusi.
"Problem utamanya adalah tanah-tanah yang menjadi target pengadaan tanah untuk PSN ataupun Kawasan Ekonomi Khusus itu tumpang tindih dengan tanah dan lahan pertanian serta kebun masyarakat, termasuk wilayah adat," kata Dwi.