Kamis 06 Jan 2022 23:37 WIB

Guru Besar IPB: Pencabutan Izin Bisa Buka Akses Pemanfaatan Masyarakat

Pencabutan izin lahan dan tambang juga harus diikuti pengakuan hak masyarakat adat

Pemerintah telah mencabut ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan dan hak guna usaha (HGU) perkebunan, seperti yang dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pada 6 Januari 2021. Dalam sektor kehutanan telah dicabut 192 izin untuk lahan seluas 3.126.439 hektare.   Izin-izin itu dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan.Selain itu dicabut juga HGU perkebunan yang ditelantarkan untuk lahan seluas 34.448 hektare, dengan 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum dan sisanya merupakan bagian HGU terlantar milik 24 badan hukum.
Foto: ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden
Pemerintah telah mencabut ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan dan hak guna usaha (HGU) perkebunan, seperti yang dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pada 6 Januari 2021. Dalam sektor kehutanan telah dicabut 192 izin untuk lahan seluas 3.126.439 hektare. Izin-izin itu dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan.Selain itu dicabut juga HGU perkebunan yang ditelantarkan untuk lahan seluas 34.448 hektare, dengan 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum dan sisanya merupakan bagian HGU terlantar milik 24 badan hukum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyambut baik pencabutan izin sektor kehutanan yang dilakukan pemerintah, dengan salah satu opsi selanjutnya adalah masyarakat mendapatkan akses pemanfaatan hutan secara lestari.

"Sangat penting pencabutan ini kemudian upaya setelahnya adalah memastikan bagaimana produktivitas hutan produksi baik tanaman maupun alam," kata Hariadi ketika dihubungi dari Jakarta pada Kamis malam.

Dia menyebut terkadang terdapat isu ketika lahan akan dimanfaatkan dan direhabilitasi namun ternyata masih terdapat pemegang izinnya. Pencabutan ini, jelasnya, diharapkan dapat memudahkan pemerintah dan masyarakat di wilayah masing-masing mengoptimalkan lahan-lahan hutan produksi.

Langkah selanjutnya, menurutnya, adalah memastikan masyarakat mendapatkan akses untuk pemanfaatan hutan."Jadi sebenarnya bisa berbagai macam penggunaan yang bisa memastikan bagaimana masyarakat setempat itu mendapatkan akses terhadap hutan-hutan yang selama ini tertutup karena adanya izin-izin itu," ujarnya.

Sebelumnya pemerintah telah mencabut ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan dan hak guna usaha (HGU) perkebunan, seperti yang dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pada 6 Januari 2021. Dalam sektor kehutanan telah dicabut 192 izin untuk lahan seluas 3.126.439 hektare. 

Izin-izin itu dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja dan ditelantarkan.Selain itu dicabut juga HGU perkebunan yang ditelantarkan untuk lahan seluas 34.448 hektare, dengan 25.128 hektare adalah milik 12 badan hukum dan sisanya merupakan bagian HGU terlantar milik 24 badan hukum.

Pemerintah juga mencabut sebanyak 2.078 izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) karena tidak pernah menyampaikan rencana kerjaTerkait pencabutan izin tersebut, organisasi nirlaba yang bergerak di lingkungan hidup Yayasan EcoNusa menyambut baik langkah Presiden Joko Widodo untuk mencabut izin-izin bermasalah.

Menurut CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar ketika dihubungi dari Jakarta pada Kamis, hal itu merupakan langkah yang tepat karena merugikan negara, mengancam keberlangsungan hutan dan mengesampingkan hak-hak masyarakat adat.

"Momentum pencabutan izin oleh Presiden Jokowi ini harus diikuti dengan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan memaksimalkan potensi dan peran masyarakat adat untuk penguatan ekonomi masyarakat bukan malah dialokasikan lagi untuk izin lainnya," ujar Bustar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement