REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Kamis (6/1/2022) menyerukan penghentian kekerasan di Kazakhstan menyusul protes besar-besaran terhadap kenaikan harga bahan bakar.
OKI juga menyatakan keprihatinan mendalam atas perkembangan yang terjadi di negara Asia Tengah itu dan kesedihan atas tindakan kekerasan yang telah menyebabkan puluhan korba tewas dan kerusakan properti publik.
OKI menyerukan kepada warga Kazakh untuk menahan diri dan mengakhiri tindakan kekerasan. OKI juga menegaskan solidaritasnya dengan pemerintah Kazakhstan dalam menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas.
Apa yang terjadi di Kazakstan?
Pasukan keamanan Kazakh mengatakan sebelumnya bahwa puluhan pengunjuk rasa tewas ketika mereka berusaha mengambil alih gedung-gedung pemerintah di Almaty, kota metropolitan terbesar di Kazakhstan. Situasi dilaporkan terkendali di kota-kota Shymkent dekat perbatasan dengan Uzbekistan dan Aktau yang terletak di pantai timur Laut Kaspia.
Presiden Kassym-Jomart Tokayev juga memberlakukan jam malam di Almaty, tempat ribuan orang turun ke jalan. Protes mulai mengguncang Kazakhstan sejak 2 Januari akibat kenaikan harga bahan bakar minyak yang kemudian menyebar ke seluruh negeri.
Baca: Sydney Bersiap, Omicron Diprediksi di Puncak Wabah pada Akhir Januari
Sebagai tanggapan, Presiden Kassym-Jomart Tokayev mengumumkan keadaan darurat di ibu kota komersial Almaty dan wilayah Mangystau yang kaya minyak. Tokayev juga menyetujui pengunduran diri pemerintah dan meminta dukungan dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) sebuah aliansi Eurasia dari negara-negara bekas Soviet.
Baca: Protes untuk Kunjungan Pemimpin Otoriter Kamboja ke Myanmar
Baca: Efek Tsunami Covid-19 Varian Omicron Menyapu Eropa