REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Uang digital adalah fitur yang netral yang bergantung pada substansi dan barang yang diperjualbelikan. Lantas bagaimana landasan hukum fikih uang digital?
Ustaz Oni Sahroni dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 3 menjelaskan, jika dengan fitur ini pengguna bisa memenuhi hajat-hajat primernya yang halal dan mudah, maka tingkat kepentingan aplikasi ini bernilai sama. Seperti membeli barang tanpa harus menyediakan dana tunai di dompet dan tanpa harus datang ke merchant serta kerepotan-kerepotan lainnya.
Hal ini sebagaimana kaidah, “Al-waasilu laha ahkaamul-maqashid,”. Yang artinya, “Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya,”. Ustaz Oni menyebut bahwa seyogyanya kemudahan itu dibingkai rambu-rambu syariah agar memberikan maslahat dan terhindar dari efek negatif sebagaimana fatwa DSN MUI Nomor 116 Tahun 2017 tentang Uang Elektronik Syariah dan Standar AAOIFI nomor 38 tentang At-Ta’amulat Al-Elektraniah.
Pertama, terhindar dari transaksi yang dilarang dan objek akad halal dan legal. Penggunaan uang elektronik terhindar dari transaksi yang dilarang. Oleh karena itu, barang yang diperjualbelikan dengan uang digital ini halal dan legal.
Kedua, bank penampungan. Jumlah nominal uang elektronik yang ada pada penerbit ditempatkan di bank syariah. Karena transaksi di Bank Konvensional itu pinjaman berbunga yang diharamkan.
Ketiga, ada serah terima dan ijab kabul. Baik fisik atau non-fisik sesuai tradisi dan kesepakatan. Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiiyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, Al-Khatib, dan Al-Khattibi).
Keempat, ketentuan hak dan kewajiban para pihak dituangkan dalam ketentuan platform dan disetujui customer. Termasuk diskon yang diberikan penerbit e-money kepada customer.