REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong kepada pihak kepolisian untuk tetap menuntaskan kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Riau, walaupun dalam perjalanannya para pihak sudah berakhir damai.
Wakil Ketua LPSK RI, Maneger Nasution mengatakan kasus pemerkosaan anak di bawah umur di Riau menambah panjang kasus kejahatan seksual di Indonesia. Karena itu ia berharap kepada polisi untuk tetap mengusut perkara ini, walaupun korban telah berdamai atau mencabut laporan.
Seperti diwartakan sebelumnya kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan anak anggota DPRD Pekanbaru terhadap siswi SMP berujung damai. Korban pemerkosaan A (15) pun telah mencabut laporannya terhadap pelaku AR (20) di Polresta Pekanbaru.
Sedangkan Pelaku AR yang sebelumnya sempat ditahan di Polresta Pekanbaru akhirnya dibebaskan dan diharuskan wajib lapor dua kali dalam seminggu. "Peristiwa pencabutan laporan korban di Pekanbaru ini tentu mencederai rasa keadilan publik," kata Maneger dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (8/1).
Selain itu, ia khawatir publik juga menduga bahwa keluarga pelaku yang merupakan anggota DPRD, menggunakan pengaruhnya. Seperti menekan korban untuk berdamai dan pada ujungnya menangguhkan penahanan pelaku.
"Polisi sejatinya tidak bisa menghentikan proses penyidikan dengan bersandar adanya persetujuan perdamaian antara korban dan keluarganya dengan pelaku, mengingat perkosaan adalah delik biasa. Olehnya, meskipun korban atau pelapor telah mencabut laporannya, kepolisian tetap berkewajiban memproses perkara tersebut," terangnya.
Maneger juga meminta, pihak-pihak yang memfasilitasi proses perdamaian dan kemudian berujung penangguhan penahanan terhadap pelaku, perlu dilakukan pemeriksaan. Sebab, menurut dia, bisa jadi disinyalir, langkah mereka benar-benar tidak sesuai prosedur atau diduga terjadi pelanggaran.
Ia juga mengingatkan langkah perdamaian itu, berbeda dengan restoratif justice. Sebab sebagaimana dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, memiliki prinsip pembatasan. Misalnya, pemenuhan syarat formil salah satunya adalah bahwa semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
"Pemerkosaan ini korbannya manusia. Jika benar dilakukan langkah-langkah untuk mendamaikan, tindakan tersebut telah melanggar Surat Edaran Kapolri dimaksud," jelasnya.
"Maka, meskipun pada akhirnya terjadi perdamaian, LPSK mendorong kepolisian untuk tetap menuntaskan kasus tersebut secara profesional dan independen," katanya menambahkan.
LPSK juga mendukung niat Kapolri untuk membentuk Direktorat Layanan Perempuan dan Anak di Bareskrim Polri. Tujuannya, agar anggota kepolisian memiliki fokus penanganan perkara dan mendapatkan arahan kebijakan dan supervsisi yang tepat.
Dalam tiga tahun terakhir, catatan LPSK menunjukkan perlindungan dalam perkara-perkara kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019 terdapat 359 pemohon, 2020 terdapat 245 pemohon, dan di tahun 2021 terdapat 482 Pemohon.
Ia mengingatkan, kecenderungan naiknya permohonan perlindungan pada perkara kekerasan seksual, hendaknya menjadi perhatian dan keprihatian bersama. Selain angkanya yang tinggi dengan berbagai modus, perbuatan ini juga terjadi di ruang-ruang yang minim pengawasan. Misalnya, lingkup keluarga, tempat pendidikan dan ibadah.