REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Allah memberikan keringanan beribadah serta tuntunan yang perlu dilakukan bagi para musafir di dalam perjalanan. Lantas bolehkah musafir menjadi imam sholat bagi penduduk lokal (pemukim)?
Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menyampaikan, “Seorang tsiqah mengabari kami dari Ma’mar, dari Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat dua rakaat di Mina bersama Abu Bakar RA dan Umar RA,”.
Untuk itu, menurut Imam Syafii menjadi imam bagi musafir kepada pemukim adalah mustahab. Menurutnya, mustahab bagi imam untuk melaksanakan sholat baik sebagai musafir maupun pemukim, tanpa mewakilkan kepada orang lain, serta memerintahkan orang-orang di belakangnya (para makmum) yang berstatus sebagai mukim (bukan musafir) untuk menyempurnakan sholat mereka.
Terkecuali jika mereka sudah paham, maka cukuplah bagi mereka pemahaman mereka tersebut. Apabila beberapa orang musafir berkumpul dengan beberapa orang pemukim, maka jika wali mereka termasuk di antara salah satu kelompok itu, maka dia harus mengimami mereka semua di saat sholat. Baik dia berstatus sebagai musafir maupun sebagai pemukim.
Kalau wali berstatus sebagai orang mukim, lalu iqamat dikumandangkan dan orang lain yang menjadi imam, maka yang lebih mustahab menurut Imam Syafii adalah hendaknya wali memerintahkan seseorang yang berstatus mukim dan tidak menyerahkan posisi imam kecuali hanya kepada orang yang tidak boleh mengqashar shalatnya.
Apabila wali menunjuk seorang musafir sebagai imam, maka menurut Imam Syafii hal itu hukumnya makruh jika di belakangnya ada makmum yang shalat sebagai mukim. Ketika itu terjadi, maka si orang mukim harus menyempurnakan shalatnya dari shalat musafir itu, dan dia tidak harus mengulang.