Ahad 09 Jan 2022 06:51 WIB

Timur Tengah Hadapi Lonjakan Kasus Demensia

Qatar akan alami lonjakan terbesar di dunia dengan peningkatan demensia 1.926 persen.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Timur Tengah Hadapi Lonjakan Kasus Demensia. Warga Qatar menikmati berjalan-jalan di pinggir laut di Doha.
Foto: AP Photo/Kamran Jebreili
Timur Tengah Hadapi Lonjakan Kasus Demensia. Warga Qatar menikmati berjalan-jalan di pinggir laut di Doha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah penderita demensia di negara-negara di Timur Tengah diperkirakan akan meningkat pada 2025. Lonjakan kasus demensia ini terjadi karena wilayah tersebut dipaksa untuk menghadapi implikasi kesehatan dari populasinya yang menua.

“Wilayah ini akan melihat jumlah orang dengan penyakit Alzheimer yang paling cepat berkembang di dunia karena perubahan gaya hidup yang bersekutu dengan populasi yang terus bertambah dan menua,” menurut penelitian di jurnal medis Lancet, dilansir dari The National News, Jumat (7/1).

Baca Juga

Menurut penelitian, Qatar dapat melihat lonjakan terbesar di dunia dengan peningkatan kasus dari 2019 hingga 2050 sebesar 1.926 persen. Disusul peringkat kedua oleh UEA dengan peningkatan 1.795 persen, kemudian Bahrain dengan peningkatan kasus lebih dari 1.000 persen.

Oman, Arab Saudi, Kuwait, Irak dan Yordania juga termasuk di antara 10 negara teratas dengan kemungkinan pertumbuhan demensia tertinggi, dengan tingkat peningkatan di atas 500 persen dari tingkat 2019. Peneliti memperkirakan penderita demensia akan meningkat tiga kali lipat dari jumlah orang berusia di atas 40 tahun yang hidup dengan demensia. Jumlahnya naik dari sekitar 57 juta pada 2019 menjadi 153 juta pada 2050.

Para ahli mengatakan peningkatan besar seperti itu akan membebani sistem perawatan kesehatan dan keluarga yang secara tradisional merawat orang tua mereka di rumah.

“Perbedaan budaya dan stigma sosial potensial untuk mengidentifikasi kerabat dengan demensia, mungkin juga karena meremehkan mereka yang menderita penyakit ini,” kata para ahli.

Studi ini mengidentifikasi sekitar 11.711 orang yang hidup dengan demensia pada 2019, lebih sedikit daripada di Siprus yang hanya memiliki seperdelapan dari populasi UEA. Selain itu, menurut studi, kebiasaan buruk seperti merokok, obesitas, gula darah tinggi dan pendidikan rendah turut menyumbangkan kasus demensia di UEA yang dapat mencapai 220 ribu pada 2050.

“Perubahan ini diprediksi, sebagian disebabkan oleh faktor kesehatan termasuk tingkat obesitas dan diabetes yang tinggi dan merokok,” kata editor asosiasi New Emirates Medical Journal yang berbasis di Dubai dan kontributor penelitian ini, Akshaya Bhagavathula.

“Angka-angka ini benar-benar mengejutkan saya. Karena usia rata-rata nasional UEA adalah 33,2 tahun, tidak diharapkan UEA akan menderita demensia dini dalam 30 tahun mendatang,” katanya.

Ia berharap hasil studi ini dapat menjadi peringatan untuk fokus pada peningkatan kesadaran dan juga mengurangi faktor risiko demensia di negara-negara timur tengah. Penelitian yang didanai oleh Bill and Melinda Gates Foundation, menyebutkan di Timur Tengah dan Afrika Utara secara keseluruhan, angka dengan demensia bisa meningkat dari 3 juta menjadi 14 juta, naik 367 persen. Ini merupakan angka tertinggi untuk wilayah mana pun di dunia.

Para peneliti menyerukan kampanye kesehatan masyarakat disesuaikan dengan masing-masing negara dan investasi dalam penelitian untuk mengatasi demensia, penyebab utama kematian ketujuh di seluruh dunia. Biaya demensia secara global diperkirakan lebih dari 1 triliun dolar AS pada 2019.

Sebuah makalah yang diterbitkan pada 2020 menunjukkan hingga 40 persen kasus dapat dicegah atau ditunda. Caranya dengan mencegah 12 faktor risiko yang diketahui dihilangkan, seperti merokok, depresi, aktivitas fisik, isolasi sosial, dan polusi udara.

Misalnya saja program pendidikan dan gaya hidup sehat di negara-negara berpenghasilan tinggi di kawasan Asia-Pasifik. Kasus demensia di negara-negara maju ini diperkirakan hanya tumbuh sebesar 53 persen.

"Bahkan kemajuan sederhana dalam mencegah demensia atau menunda perkembangannya akan membayar dividen yang luar biasa," kata penulis utama studi Emma Nichols dari University of Washington di AS.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement