REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) memberikan tanggapan atas tindakan Iran yang menjatuhkan sanksi kepada 52 warga Amerika Serikat, yang terlibat dalam pembunuhan komandan pasukan elite Qassem Soleimani.
Gedung Putih pada Ahad (9/1/2022) mengatakan, Amerika Serikat dan sekutunya akan membela diri serta melindungi warganya terhadap setiap serangan yang dilakukan Iran.
"Amerika Serikat akan melindungi dan membela warganya. Orang Amerika, kami memiliki perbedaan pendapat tentang politik dan perbedaan pendapat tentang kebijakan Iran. Tapi kami bersatu dalam tekad kami melawan ancaman dan provokasi," kata Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan, dilansir Alarabiya, Senin (10/1/2022).
Sullivan menambahkan, Amerika Serikat akan bekerja dengan sekutu dan mitranya untuk mencegah serta menanggapi setiap serangan yang dilakukan oleh Iran. Sullivan menegaskan, jika Iran menyerang salah satu warga negara Amerika Serikat termasuk salah satu dari 52 orang yang disebutkan namanya dalam sanksi Iran, maka Teheran akan menghadapi konsekuensi yang berat.
Beberapa orang yang terkena sanksi, diantaranya mantan dan pejabat aktif Amerika Serikat termasuk diplomatik maupun militer. Sejumlah nama yang masuk dalam daftar sanksi Iran di antaranya Kepala Staf Gabungan Mark Milley, mantan penasihat keamanan nasional Gedung Putih Robert O'Brien, dan mantan duta besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley.
Sanksi rezim Iran kemungkinan bersifat simbolis, karena mereka hanya mengizinkan pemerintah untuk menyita aset salah satu dari mereka yang terkena sanksi, selama aset tersebut berada di Iran.
Pengumuman sanksi itu bertepatan dengan peringatan dua tahun kematian Soleimani, dalam serangan pesawat tak berawak di Irak pada 3 Januari 2020. Komandan milisi Irak, Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas dalam serangan tersebut.
Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan, Trump, Pompeo, dan pejabat Amerika Serikat lainnya harus diadili atas kematian Soleimani. Apabila mereka tidak mendapatkan hukuman, maka Iran dan sekutunya yang disebut "poros perlawanan", akan melakukan tindakan balas dendam yang lebih keras.
Iran juga telah meminta Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan formal terhadap Amerika Serikat dan Israel yang juga terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Pemerintahan Trump pada 2018 secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 atau JCPOA, dan memulai kampanye “tekanan maksimum” terhadap Iran, yang mencakup sanksi keras. Sejak saat itu, Iran telah meningkatkan pengayaan uranium hingga mendekati tingkat senjata nuklir.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden ingin menghidupkan kembali JCPOA, dengan syarat Iran menghentikan peningkatan pengayaan uranium. Sementara Iran menuntut agar Amerika Serikat mencabut sanksi yang telah memperburuk ekonomi negara tersebut.
Saat ini Iran bersama negara anggota JCPOA lainnya Prancis, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman, terlibat dalam negosiasi yang intens di Wina untuk mencoba memulihkan kesepakatan nuklir tersebut. Perwakilan dari pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengambil bagian dalam pembicaraan secara tidak langsung.