Senin 10 Jan 2022 08:47 WIB

Soal Molnupiravir, Ahli Medis India: Hati-Hati dengan Risiko Cacat Janin

Kepala Badan Peneliti Medis India (ICMR) ingatkan efek samping molnupiravir.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Reiny Dwinanda
Pil eksperimental molnupiravir produksi Merck. Sebanyak 13 perusahaan farmasi India memproduksi molnupiravir.
Foto: EPA
Pil eksperimental molnupiravir produksi Merck. Sebanyak 13 perusahaan farmasi India memproduksi molnupiravir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah gelombang ketiga infeksi SARS-CoV-2 varian omicron di India, regulator obat negara itu menyetujui molnupiravir sebagai pil antivirus Covid-19 pertama pada 28 Desember 2021. Keputusan itu memicu perlombaan di antara produsen obat-obatan India untuk memproduksi molnupiravir.

Menurut laporan, sebanyak 13 produsen obat India, termasuk Dr Reddy's, Cipla, Stride, dan Hetero sekarang berusaha untuk mengadakan pil tersebut. Obat oral yang awalnya dikembangkan oleh Merck yang berbasis di AS bekerja sama dengan Ridgeback Biotherapeutics itu dilaporkan akan menelan biaya antara sekitar Rp 289 ribu hingga Rp 481 ribu untuk lima hari pemakaian.

Baca Juga

Apa itu molnupiravir?

Molnupiravir termasuk dalam kelas antivirus yang dikenal sebagai ribonukleosida mutagenik. Ini pada dasarnya, bekerja dengan mencegah virus mereplikasi diri.

Cara kerjanya dilakukan dengan mengubah enzim yang menempel pada virus, secara efektif mengelabui virus sebelum memasukkan kesalahan ke dalam kode genetik virus. Selama masa pengobatan, pasien diminta untuk minum empat pil dua kali sehari selama lima hari, dengan total 40 pil di seluruh rejimen.

Seberapa efektif molnupiravir? Apa kekhawatiran atas penggunaannya?

Pada Oktober tahun lalu, Merck mengumumkan hasil uji coba global menunjukkan bahwa obat molnupiravir mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat Covid-19 sekitar 50 persen. Uji coba melibatkan 775 peserta yang tidak divaksinasi, masing-masing memiliki setidaknya satu faktor risiko yang terkait dengan hasil penyakit yang buruk, seperti obesitas, diabetes, atau penyakit jantung.

Peserta dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu satu yang menerima obat dan kelompok lainnya menerima plasebo. Pada kelompok plasebo, 53 pasien atau 14 persen dirawat di rumah sakit atau meninggal karena infeksi dibandingkan dengan 28 atau 7,3 persen pada kelompok yang menerima pengobatan.

Setelah 29 hari pemantauan, tidak ada kematian yang dilaporkan pada mereka yang menerima molnupiravir dibandingkan dengan delapan kematian di antara mereka yang menggunakan kelompok plasebo. Uji coba awalnya dimaksudkan untuk memasukkan 1.550 pasien, tetapi dihentikan karena hasil analisis sementara yang menurut komite pemantau data independen cukup "menarik" untuk terus maju mendapatkan persetujuan dan peraturan distribusi.

Hasil awal yang menjanjikan dari uji coba mendorong beberapa negara untuk memborong obat tersebut, dengan Inggris pada awal November 2021 menyetujui penggunaan molnupiravir sebagai obat Covid-19. Pada akhir Desember 2021, AS juga mengamankan stok molnupiravir untuk penggunaan pada orang dewasa tertentu.

Singapura juga dilaporkan telah menandatangani perjanjian pembelian obat itu, sementara Badan Obat Eropa juga sedang mempertimbangkan peluncurannya. Namun, setelah hasil uji coba awal, Merck menerbitkan pembaruan berdasarkan data yang lebih lengkap dari peserta yang terlibat dalam penelitian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement