'Peradilan Khusus Pemilu Dibutuhkan untuk Adili Sengketa Pemilu'
Rep: My41/ Red: Fernan Rahadi
Suasana ujian terbuka dan promosi doktor Rayendra Erwin Moeslimin Singajuru di Aula Prof Dr KH Kahar Muzakkir Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jumat (7/1). | Foto: Whafir Pramesty
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sengketa pemilihan umum (pemilu) menjadi problem hukum di Indonesia yang terus berulang semenjak Pemilu 1999. Terakhir, pada Pemilu 2019 kembali terjadi sengketa pemilu ketika pihak yang kalah yakni calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, mengklaim terjadi kecurangan pada penyelenggaraan pemilu tersebut yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Namun, sampai saat ini belum tersedia mekanisme penyelesaian masalah yang terlembaga dengan kuat," ujar Rayendra Erwin Moeslimin Singajuru saat mempresentasikan disertasinya yang berjudul “Politik Hukum Penyelesaian Sengketa Pemilu: Menggagas Pembentukan Pengadilan Pemilu di Indonesia”, dalam ujian terbuka serta promosi doktornya, di Aula Prof Dr KH Kahar Muzakkir Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jumat (7/1).
Gagasan disertasi tersebut bertujuan untuk membentuk pengadilan pemilu di Indonesia yang memiliki alasan hukum yang kuat dan jelas. "Sehingga pemilu yang diselenggarakan memiliki kekuatan hukum yang pasti, legitimasi politik yang kuat, dan mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat," kata Rayendra.
Dalam pemaparannya, Rayendra menegaskan berdasarkan hasil penelitian bahwa Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai wadah penyelesaian sengketa pemilu merupakan inkonstitusional dan tidak kredibel. Hal ini dikarenakan sistem yang dijalankan oleh kedua lembaga tersebut adalah peradilan umum yang tidak bisa bersifat final dan mengikat.
Untuk mengakhiri perdebatan lembaga mana yang paling ideal dalam mengadili sengketa pemilu, Rayendra mengatakan lembaga peradilan khusus pemilu perlu didirikan ke depannya.
"Lembaga peradilan khusus pemilu diperlukan karena MA dan MK terbukti tidak mampu menghadirkan putusan yang memiliki kepastian hukum dan keadilan pemilu, dan itu diakui secara kelembagaan oleh mereka sendiri," ujarnya dalam sidang terbuka yang salah satu pengujinya adalah Mahfud MD yang pernah menjadi Ketua MK dan kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
Lebih lanjut, Rayendra menuturkan, desain politik hukum penyelesaian sengketa pemilu yang akan dibangun adalah yang memiliki karakter "volksgeist" untuk menyelesaikan sengketa pemilu secara komprehensif.
"Peneliti menyarankan peradilan pemilu dapat masuk pada konstitusi dengan menjadikannya sebuah mahkamah pemilu. Dengan begitu, posisi kelembagaannya menjadi kuat dan termungkinkan terhindar dari tolak tarik terutama secara politis," kata Rayendra yang juga mantan anggota DPR ini.
Hadir sebagai penguji yaitu Prof Fathul Wahid (Ketua Sidang sekaligus Rektor UII), Prof Ni’matul Huda (Promotor), Prof Jawahir Thantowi, (Co-Promotor), Prof Mahfud MD (Penguji), Prof Amzulian Rifai (Penguji), Prof Muhammad Fauzan (Penguji), Prof I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani (Penguji), dan Dr Suparman Marzuki sebagai penguji. Turut hadir juga dalam Ujian Terbuka/Promosi Doktor ini, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, dan Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna.