Selasa 11 Jan 2022 08:25 WIB

Polri Datangkan Saksi Ahli Selidiki Penangkapan Lumba-Lumba

Para ahli diminta umenganalisa dan mengevaluasi seluruh bukti petunjuk penangkapan.

Kapolres Tulungagung AKBP Eva Guna Pandia (ketiga kiri) menununjukkan barang bukti perniagaan sembilan ekor satwa dilindungi jenis Lumba-lumba moncong panjang (delphinus capensis atau stenella longirostris) di Tulungagung, Jawa Timur. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Kapolres Tulungagung AKBP Eva Guna Pandia (ketiga kiri) menununjukkan barang bukti perniagaan sembilan ekor satwa dilindungi jenis Lumba-lumba moncong panjang (delphinus capensis atau stenella longirostris) di Tulungagung, Jawa Timur. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PACITAN -- Aparat Kepolisian Resor Pacitan mendatangkan sejumlah saksi ahli dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Wilayah Kerja Jatim-Bali serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur. Kedatangannya guna menyelidiki kasus penangkapan tujuh ekor lumba-lumba di Perairan Pacitan.

"Pemeriksaan terhadap juru mudi dan 23 ABK (anak buah kapal) sudah selesai. Semua memberi kesaksian bahwa lumba-lumba tersebut (tanpa disengaja) tersangkut jaring ikan," kata Kapolres Pacitan AKBP Wiwit Ari Wibisono di Pacitan, Jawa Timur, Senin (10/1/2022).

Penyelidikan kasus dugaan penangkapan lumba-lumba diduga jenis long-beaked dolphin atau spinner dolphin itu masih akan dilanjutkan dengan mendatangkan saksi ahli dari otoritas terkait. Selain mengajak para ahli untuk menganalisa dan mengevaluasi seluruh bukti petunjuk yang ada, penyidik ingin mengetahui ada/tidaknya zona penangkapan ikan di wilayah Perairan Pacitan.

"Kalau ada, kami perlu tahu berdasar keterangan saksi ahli ini apakah mereka (para nelayan terperiksa) berada di zona penangkapan ikan atau zona konservasi yang tidak boleh dilakukan aktivitas penangkapan ikan," lanjut Wiwit.

Apabila terbukti melanggar zona konservasi sumber daya laut yang tidak masuk kawasan penangkapan ikan, nelayan bersangkutan bisa dijerat pidana pelanggaran Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun.

"Nelayan bisa jadi tidak tahu tentang pembedaan zona (penangkapan ikan) ini. Maka, dalam kasus ini mereka dijerat pasal kelalaian, khususnya juru mudi atau nakhoda. Sebab, selaku nakhoda, yang bersangkutan harus tahu dan memiliki wawasan tentang zona penangkapan ikan," tutur Wiwit.

Kasus penangkapan tujuh ekor lumba-lumba di Perairan Pacitan ini sempat ramai dibicarakan di media sosial. Banyak yang menyayangkan oknum-oknum nelayan yang disebut berasal dari luar daerah (nelayan andon) itu karena menangkapi lumba-lumba yang notabene diketahui sebagai satwa dilindungi.

Dalam video amatir berdurasi 14 detik yang diduga diambil oleh juru mudi kapal itu bahkan ada satu ekor yang telah dipotong bagian buntut atau ekornya. Sementara enam ekor lain lumba-lumba terlihat sudah tidak bergerak tergeletak di atas geladak kapal.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement