Selasa 11 Jan 2022 18:09 WIB

13 Tahun Dakwah di Makkah, Rasul tak Hancurkan Berhala Apalagi Sesajen

Rasulullah SAW berdakwah dengan lemah lembut

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Rasulullah SAW berdakwah dengan lemah lembut. Ilustrasi Rasulullah
Foto: Republika/Mardiah
Rasulullah SAW berdakwah dengan lemah lembut. Ilustrasi Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selembut dan sebijaksana apapun cara dai dalam berdakwah, selama menyuarakan kebenaran dan meluruskan penyimpangan, pasti akan menghadapi rintangan dan tantangan. Hal itu sudah sunnatullah.     

"Bahkan dai paling bijaksana dan paling lembut sedunia sekalipun, ternyata dicaci-maki, dilempari batu, diusir, malahan diupayakan untuk dibunuh. Beliau adalah Nabi kita Muhammad ," kata pengasuh Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember, Ustadz Abdullah Zaen Lc,MA, dalam keterangannya kepada Republika.co.id,  Selasa (11/1/2022).  

Baca Juga

Dia menambahkan, namun ada satu hal penting yang musti selalu diingat. Bahwa kita tidak pernah diajari Islam untuk sok-sokan meminta dan menantang ujian. 

“Justru sebaliknya, setiap pagi dan petang kita dibimbing untuk selalu memohon afiat dan keselamatan," ujar dia.  

Ustadz mengungkapkan, dakwah itu tidak boleh sekadar bermodal nekat dan semangat. Namun harus berbekal ilmu yang beragam. Ilmu tentang konten dakwah yang akan disampaikan. 

Ilmu mengenai objek dakwah yang akan didakwahi. Ilmu tentang level kekuatan atau kelemahan dai sendiri. "Yang terakhir ini diistilahkan oleh Syekh Shalih Alu Syekh hafizhahullah dengan term fiqh al-quwwah wa adh-dha’f," kata Ustadz Abdullah.  

Ustadz menjelaskan, lebih dari 13 tahun Rasulullah ﷺ  berdakwah di kota Makkah (ini dikenal dengan fase dakwah Makkah, sementara saat penaklukkan Makkah tahun 8 Hijriyah, berhala-berhala tersebut dihancurkan saat dakwah di Madinah menguat). Tidak pernah sekalipun tercatat dalam sejarah, beliau merusak ratusan berhala yang bertebaran di sekeliling Kabah selama kurun waktu 13 tahun itu.  

Bahkan sekadar ‘iseng’ mencolek patung atau menendang sesaji, tidak pernah beliau lakukan. Padahal berhala itu jelas-jelas simbol kesyirikan, dosa terbesar yang tak diampuni Allah ﷻ. Namun beliau justru berkonsentrasi dan fokus membangun pondasi akidah, sembari mengiringinya dengan penerapan akhlak mulia terhadap masyarakat.

Ustadz mengatakan, Beliau adalah sosok yang amat bijaksana dan dibimbing wahyu Allah ﷻ. Beliau begitu memahami bahwa kaum muslimin di fase Makkah dalam kondisi lemah dan minoritas. Jika melakukan tindakan yang tidak terukur, bisa berakibat fatal. Yakni dihabisinya umat Islam tanpa tersisa hingga akar-akarnya. 

"Sirah Nabawiyyah itu intinya bukan menghapal jumlah pasukan kaum Muslimin dan kaum musyrikin saat perang A atau perang B. Bukan pula sekadar menghafal nama atau tahun peristiwa C dan peristiwa D. Namun Sirah Nabawiyyah dicatat untuk dipahami, direnungi dan diambil pelajarannya, guna diaplikasikan di tengah kehidupan kita," ucap ustadz lulusan S2 jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah ini. 

Ustadz mengungkapkan, dalam kondisi kuat dan mayoritas pun, dai tetap dituntut untuk mengatur dan menata diksi ucapan yang akan disampaikan. Selain itu juga mengukur dan menimbang perbuatan yang akan dilakukan. 

"Akankah menimbulkan dampak buruk yang lebih besar dibanding manfaatnya atau sebaliknya? Apalagi dalam kondisi lemah dan minoritas. Tentu kita lebih tertuntut untuk tidak grusa-grusu. Ingat, tidak setiap tantangan dan rintangan yang kita hadapi dalam berdakwah akan membuahkan pahala. Terlebih jika itu muncul sebagai efek dari kejahilan, kecerobohan dan ketidakbijaksanaan kita dalam berdakwah," kata Ustadz Abdullah. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement