REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Beredarnya video di media sosial yang menunjukkan seorang pria membuang dan menendang sesajen di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur mendapat tanggapan dari sejumlah pihak.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Situbondo, KH Muhyiddin Chotib, angkat bicara menanggapi peristiwa itu. Menurut dia, tindakan tersebut bukan lah cara dakwah yang baik.
“Menendang sesajen tidak bagus, bukan cara yang bagus. Melainkan marilah kita menggunakan dakwah yang rahmah, kasih sayang, dakwah yang lemah lembut, bukan dakwah dengan cara kekasaran,” ujar Kiai Muhyiddin saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (11/1/2022).
Dia pun mencontohkan dakwah yang dilakukan para nabi, seperti kisah Nabi Ibrahim. Menurut dia, saat Nabi Ibrahim merobohkan patung mengajak masyarakat untuk berdialog, bukan dengan cara kekerasan.
“Ketika menyadarkan manusia itu Nabi Ibrahim lalu memotong kepala-kepala patung itu dengan cara dialog. Jadi, patung besar dibiarkan, patung-patung kecil dipotong semua,” ucap Kiai Muhyiddin.
Diceritakan bahwa saat itu para penyembah berhala menggelar hari raya. Mereka membuat banyak sekali berhala dan menempatkan berbagai makanan di depan berhala itu. Mereka kemudian berdoa di sana. Ayahnya, Azhar kemudian mengajak Ibrahim, namun ia menolak.
Nabi Ibrahim AS kemudian berencana membuat tipu daya. Ia pergi diam-diam ke lapangan tempat para berhala berjejer. Ia lalu menghancurkan semua berhala kecil dan menyisakan patung terbesar. Ia meletakkan kapak di tangan patung terbesar itu.
Mengetahui patung-patung rusak, Ibrahim pun dicari karena dirinyalah yang selama ini menentang penyembahan berhala. Namun, Ibrahim menyampaikan kepada mereka bahwa berhala yang paling besarlah pelakunya. Beliau pun menantang kaumnya untuk bertanya langsung kepada sang patung besar itu.
Kaumnya kemudian diam dan menyadari berhala itu tidak bisa bicara. "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang yang menganiaya diri sendiri," kata Nabi Ibrahim AS. Kaum Ibrahim pun tertunduk. Ibrahim kemudian berkata, "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu buat sendiri? Padahal, Allah yang menciptakan kamu. Apa yang kamu perbuat itu?"
Kaum Ibrahim pun menjawab bahwa bapak-bapak mereka pun menyembahnya. Ibrahim kemudian berkata lagi, "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)? Dapatkah mereka memberi kebaikan kepadamu atau justru mudharat? Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata."
Mendengar itu, kaum Ibrahim marah. Mereka tidak mau berdebat karena tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibrahim. Mereka lalu mendirikan bangunan untuk membakar Ibrahim.
Menurut Kiai Muhyiddin, dakwah yang dilakukan Nabi Ibrahim tersebut mengedepankan dialog dan menggunakan siasat untuk menyadarkan kaumnya. Karena itu, menurut dia, jika tidak suka terhadap praktik sesajen lebih baik diajak berdialog, sehingga tidak memunculkan masalah yang baru.
“Nah, itu cara yang paling halus menurut saya untuk menyadarkan orang, bukan menghilangkan kemafsadatan, kemudharatan dengan menimbulkan mafsadah yang baru,” jelas Kiai Muhyiddin.
“Jadi, tarekat dakwah yang baik adalah kita rangkul, kita arahkan, dan kita ajak dialog secara baik, tidak harus dengan nendang-nendang kayak gitu,” imbuh anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini.