REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli menyatakan bahwa dugaan mutasi virus Covid-19 hibrida yang dijuluki "Deltacron" hampir pasti tidak ada. Sebutan "Deltacron" semula merujuk pada gabungan varian delta dan omicron.
Sebelumnya, mutasi virus dilaporkan ditemukan di laboratorium Siprus. Menurut para ahli, kemungkinan besar itu merupakan hasil dari kontaminasi laboratorium, bukan gabungan dua varian Covid-19.
Meskipun ada kemungkinan menggabungkan virus corona secara genetik, itu jarang terjadi. Para ilmuwan yang menganalisis penemuan yang disebut "Deltacron" itu menyebutnya sebagai hal yang tidak mungkin.
"Urutan 'Deltacron' Siprus yang dilaporkan oleh beberapa media besar terlihat jelas merupakan kontaminasi," ungkap Tom Peacock, ahli virologi di Departemen Penyakit Menular di Imperial College London, Inggris.
Kepala Inisiatif Genomik Covid-19 di Institut Wellcome Sanger Inggris, Jeffrey Barrett, mengatakan dugaan mutasi terletak pada bagian genom. Area itu rentan terhadap kesalahan dalam prosedur pengurutan tertentu.
"Ini hampir pasti bukan rekombinan biologis dari garis keturunan delta dan omicron," kata Barrett, dikutip dari laman Science Alert, Rabu (12/1/2022).
Para ilmuwan bertekad memerangi banjir disinformasi tentang Covid-19, yang sebagian besar beredar secara daring. Pekan lalu, muncul laporan yang belum diverifikasi tentang virus "flurona", kombinasi flu dan corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membantah keberadaannya. "Jangan gunakan istilah seperti deltacron, flurona, atau flurone. Tolong. Istilah tersebut menyiratkan kombinasi virus/varian dan itu tidak terjadi," tulis ahli epidemiologi penyakit menular WHO, Maria van Kerkhove, via Twitter.
Seseorang memang dapat terjangkit influenza dan corona pada saat yang sama, meski begitu kedua virus itu tidak dapat bergabung. Sejak awal pandemi, virus corona telah bermutasi menjadi lusinan varian. Empat di antaranya telah ditetapkan "menjadi perhatian" oleh WHO, yakni alpha, beta, delta, dan omicron.