REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai Partai Golkar harus menyiapkan tokoh lain untuk diusung sebagai calon presiden (Capres) pada Pilpres 2024. Hal itu karena menurutnya elektabilitas Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto masih belum meyakinkan.
Berdasarkan survei dari Indikator Politik Indonesia, bahkan elektabilitas Airlangga masih dibawa mantan Bupati Purwakarta yang juga anggota anggota DPR dari fraksi Golkar Dedi Mulyadi. Berdasarkan survei tersebut, elektabilitas Dedi Mulyadi berada diangka 1 persen sementara Airlangga ada di 0,1 persen.
"Artinya kalau Airlangga dikalahkan elektabilitasnya oleh seorang Dedi itu menguatkan penilain saya, bahwa Airlangga ini tidak layak untuk dijual," kata pengamat politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, Selasa (11/1/2022).
Jamiluddin menilai, Airlangga tidak bisa memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Padahal, selain saat ini menjadi Ketua Umum Golkar, Airlangga pernah menjadi anggota DPR, Menteri Perindustrian kemudian Menteri Koordinator Bidang Perekonomian hingga saat ini.
"Selain itu, dia juga gencar memasang billboard di kota-kota besar juga dia rajin mengunjungi tokoh-tokoh agama. Nah, bahkan dia juga sudah punya relawan. Apalagi, dia berkuasa pada Satgas Covid-19, yang namanya setiap hari muncul di media. Artinya, kalau memang dia mempunyai nilai jual, pasti elektabilitasnya sudah meroket," jelasnya.
Menurut Jamiluddin, kegagalan Airlangga mengoptimalkan potensinya tersebut imbas dari caranya membangun pencitraan (branding) yang cenderung formal bak pejabat Orde Baru. Padahal, cara ini sudah tak dilirik publik dan tidak sesuai perkembangan zaman.
"Harusnya sebagai seorang pemimpin, dia itu harus menyesuaikan sesuai eranya. Era sekarang menginginkan pemimpin-pemimpin yang lebih cenderung informal, yang lebih dekat dengan publik. Jadi, dia tidak memasang jarak dengan masyarakat dan dia duduk santai duduk lesehan dengan masyarakat. Nah, hal-hal seperti itu tidak tergambar pada sosok Airlangga," tuturnya.
Dirinya menilai, elite Golkar juga cenderung memaksakan Airlangga untuk maju sebagai capres. Baginya, mestinya sudah mencari alternatif lain mengingat Airlangga tidak layak untuk diperjuangkan.
Apabila tetap memaksakan Airlangga, partai berlogo pohon beringin ini bakal kembali kehilangan momentum untuk menjadikan kadernya sebagai capres ataupun calon wakil presiden (cawapres) sebagaimana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019. Padahal, Golkar termasuk partai papan atas lantaran selalu bertengger di tiga besar.
"Iya, itu makanya saya bilang, kalau mereka, elite-elite Golkar di DPP, itu masih ngotot (mengusung Airlangga), akan kehilangan momentum," tegasnya.
Baca juga : Balik Sindir, Ketua DPRD Pertanyakan Tunjangan Anies Baswedan
Jamiluddin pun menyarankan Golkar segera melakukan penjaringan internal dengan mengadakan survei guna mengetahui pasti siapa kader yang pantas dijagokan pada Pilpres 2024. Jika langkah tersebut dilakukan, partai peninggalan Orba ini bakal "bersinar" kembali dan meminimalisasi konflik antarfaksi-faksi yang ada.
"Kalau dilakukan survei, tentu lembaga survei yang kredibel yang diberi keluasan tanpa intervensi, maka diharapkan faksi-faksi Golkar dapat menerima. Tapi, kalau tidak, faksi-faksi itu akan muncul kembali dan itu akan membuat mereka hanya jadi 'penonton' (saat pilpres). Itu yang saya," katanya.