Rabu 12 Jan 2022 07:08 WIB

Madrasah Muhammadiyah Tanda Cinta untuk Pengungsi Shatila

Muhammadiyah dirikan madrasah di kamp pengungsian Palestina di Shatila

Kamp Pengungi Shatila
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Kamp Pengungi Shatila

IHRAM.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.

Muhammadiyah saat ini sedang membangun Madrasah Muhammadiyah di kamp pengungsian Palestina di Shatila, Beirut. Melalui Lazismu, langkah ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk membangun perdamaian di bumi.

"Di Shatila, Muhammadiyah sudah memiliki Madrasah Muhammadiyah I. Muhammadiyah sedang membeli sebuah gedung di Shatila juga, untuk nanti didirikan madrasah Muhammadiyah kedua," kata Dubes RI untuk Lebanon Hajriyanto Y Thohari. [Republika, 10/1]

Membaca berita itu terasa semilir angin sejuk di hati. Ada uluran tangan kita untuk saudara-saudara kita di kamp pengungsi Shatila.

Kamp Sabra dan Sathila di Lebanon mempunyai jejak sejarah yang memilukan. Sebenarnya, Sabra adalah nama pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk pengungsi Palestine pada 1949. 

Interaksi selama bertahun-tahun membuat penduduk kedua wilayah itu biasa menggunakan istilah kamp Sabra dan Shatila. Kamp pengungsi ini merupakan salah satu tempat di muka bumi yang paling ingin saya kunjungi.

Pada 16 September 1982, sewaktu zionis Israel menduduki Beirut, terjadi pembantaian penduduk sipil di kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Mereka menggunakan tangan-tangan milisi Maronit yang dipimpin Elie Hobeika. 

Selama beberapa hari kamp pengungsian itu berubah menjadi neraka. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak dibantai di tepi jalan. Tak kurang 500 orang syahid atau dinyatakan hilang.

Dr Ang Swee Chai dalam bukunya "From Beirut to Jerusalem" menuliskan kisahnya saat melakukan tugas kemanusiaan sebagai relawan medis di kamp Sabra dan Sathila.

Saya tergetar membaca pengalamannya mendapat hadiah kabel telepon dari seorang ibu yang dirawatnya. Kabel telepon? Ya, karena hanya itu satu-satunya benda berharga yang tersisa di rumahnya yang telah luluh lantak dibuldozer Israel.

Salah satu kalimat yang paling menyentuh buat saya dalam buku itu, "Seandainya saja saya bisa mengajak suami saya ke sini untuk membantu orang-orang Palestine. Bahkan sekadar menyupir ambulans." 

Suaminya bukan dokter atau tenaga medis sehingga tidak bisa ikut serta. Saat itu yang bisa masuk ke wilayah Sabra dan Sathila hanya relawan medis. 

Pejabat  yang dituding paling bertanggung jawab atas tragedi itu adalah Menteri Pertahanan Ariel Sharon. Dunia murka, hingga ia dipaksa meletakkan jabatannya.  Meski begitu, ia melenggang bebas tanpa pernah diadili. Belakangan, ia bahkan sempat menjabat menjadi Perdana Menteri Israel.

Kematian Sharon setelah koma selama 8 tahun disyukuri warga Sabra dan Shatila. Dirayakan dengan membagikan permen dan makanan manis. Beberapa menyanyi dan menabuh gendang.

Hadirnya Madrasah Muhammdiyah di kamp Sathila adalah wujud cinta dari Muslimin Indonesia untuk saudara-saudara kita yang sampai hari ini masih teraniaya.

 

Jakarta, 11/1/2022

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement