Rabu 12 Jan 2022 13:10 WIB

Prancis: Pemulihan Kesepakatan Nuklir Iran Masih Jauh

Menlu Prancis menyebut perkembangan negosiasi kesepakatan nuklir Iran sangat lambat

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Presiden Iran Ebrahim Raisi. Menlu Prancis menyebut perkembangan negosiasi kesepakatan nuklir Iran sangat lambat.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Presiden Iran Ebrahim Raisi. Menlu Prancis menyebut perkembangan negosiasi kesepakatan nuklir Iran sangat lambat.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengungkapkan beberapa kemajuan telah tercapai dalam negosiasi pemulihan kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kendati demikian, dia menyebut konsensus para pihak untuk menghidupkan kembali JCPOA masih terbilang jauh.

“Sedikit kemajuan (dalam negosiasi) telah dicapai pada akhir Desember. Namun kami masih jauh dari menyelesaikan negosiasi ini,” kata Le Drian saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan parlemen Prancis, Selasa (11/1/2022).

Baca Juga

Le Drian menjelaskan saat ini pembicaraan pemulihan JCPOA masih berlangsung walaupun perkembangan atau kemajuannya sangat lambat. “(Kelambatan) itu menciptakan celah yang membahayakan peluang menemukan solusi yang menghormati kepentingan semua pihak,” ucapnya.

Saat ini pembicaraan pemulihan JCPOA yang digelar di Wina, Austria sudah memasuki putaran kedelapan. Pada sisi Iran, putaran ini merupakan yang perdana di bawah pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi. Dalam putaran terbaru, Teheran dilaporkan menambahkan beberapa tuntutan ke sebuah teks kerja.

Sejauh ini, Iran masih menolak pertemuan langsung dengan perwakilan Amerika Serikat (AS). Dengan demikian, pihak lainnya, yakni Inggris, China, Prancis, Jerman, dan Rusia, harus bolak-balik antara kedua pihak tersebut.

JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement