REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menggelar pembicaraan via telepon dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, Selasa (11/1/2022). Selain hubungan bilateral, mereka turut membahas tentang perkembangan isu Palestina.
Abbas memberi penjelasan kepada Sisi tentang perkembangan politik terbaru di Palestina, termasuk perihal pelanggaran-pelanggaran yang terus dilakukan Israel di wilayah pendudukan.
“Dia (Abbas) berterima kasih kepada pemimpin Mesir atas posisi Mesir dalam mendukung masalah Palestina serta perannya dalam mengadvokasi rakyat-rakyat Palestina atas kebebasan dan kemerdekaan,” kata kantor berita Palestina, Wafa, dalam laporannya.
Sisi pun menegaskan komitmen Mesir untuk mendukung perjuangan Palestina. Abbas dan Sisi sepakat menjaga koordinasi sehubungan dengan posisi serta langkah-langkah masa depan dalam kerangka kerja sama bilateral.
Pada kesempatan itu, Abbas turut mengucapkan selamat kepada Sisi atas keberhasilan Mesir menyelenggarakan World Youth Forum di kota resor Laut Merah, Sharm El-Sheikh. Forum empat hari itu dihadiri perwakilan pemuda dari 196 negara.
Awal Januari lalu, Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengatakan, Israel tidak akan merundingkan solusi dua negara dengan Palestina. Kebijakan tersebut bakal diterapkan bahkan ketika Lapid menjadi perdana menteri menggantikan rekan koalisinya, Naftali Bennett, pada 2023 mendatang.
“Bahkan setelah rotasi koalisi, saya akan tetap dengan orang-orang yang sama dan perbedaan pendapat yang sama. Saya berencana mendukung kesepakatan yang saya buat dengan mitra saya,” kata Lapid dalam sebuah pernyataan pada 3 Januari lalu, dikutip laman Jerusalem Post.
Naftali Bennett dan partainya, Yamina, memang menentang pembentukan negara Palestina. Partai Menteri Kehakiman Israel Gideon Sa’ar, yakni New Hope Party, juga menolak berdirinya negara Palestina. Namun partai-partai lain dalam koalisi pemerintahan Bennett dan Lapid mengambil sikap sebaliknya. Mereka mendukung kemerdekaan Palestina.
Koalisi pemerintahan Israel saat ini memiliki mayoritas sempit. Sehingga mereka tidak dapat kehilangan dukungan dari salah satu partainya. Jika keretakan terjadi, konsekuensinya adalah penyelenggaraan pemilu dini. “Karena itu tidak ada alasan bagi saya untuk menipu Palestina dan membuka proses diplomatik yang tidak memiliki koalisi di belakangnya. Itu akan merusak kredibilitas kami, yang mana penting,” ujar Lapid.