REPUBLIKA.CO.ID, Lelaki berusia 73 tahun itu mulai dilahap uban, perawakannya rata-rata orang Indonesia, masyarakat awam. Tetapi, ingatannya masih sangat tajam. Tertawanya sedikit hati-hati, mafhum, karena candaanya mengenai sejarah yang menyayat hati.
Sekira pukul 12.15 WIB, dirinya baru turun dari lantai enam Perpustakaan (Perpusnas) Republik Indonesia, menunaikan sembahyang. Hendak pulang dan mengambil barang di loker lobby hall lantai 1 Perpusnas, Adam, sapaannya, bercerita banyaknya kemajuan di Ibu Kota, yang disaksikannya lewat Perpusnas khususnya.
“Dulu, memang sudah ramai di sekitar sini. Ramai kerusuhan dan huru-hara. Sekarang, di Perpusnas, juga ramai, tapi ramai anak muda yang baca,” kata Adam antusias menunjuk pengunjung, saat ditemui Republika di lobby Perpusnas, Rabu (12/1).
Dia bercerita, seingatnya, pada era 80-an Perpusnas memang sudah ada dan lebih baik berkat hibah keluarga Soeharto melalui yayasan. Kendati demikian, di tahun tersebut pula, kata Adam, banyak peristiwa kelam.
“Tahun '82, di Lapangan Banteng, kampanye besar-besaran malah jadi perang pendukung. '97 juga sama, ada Kudatuli, partai juga,” tuturnya mengenang masa kelam dekat Perpusnas.
Kini, lanjut dia, Perpusnas mengalami perubahan jauh. Bukan hanya bangunan yang mencakup jutaan buku saja, kata Adam, tetapi kepedulian anak muda saat ini mulai bergeser ke arah literasi, alih-alih huru-hara.
“Lihat anak muda pada baca dan kerja di sini, saya mau jadi muda terus,” kata pensiunan abdi negara yang kini tinggal di bilangan Kota, Jakarta Utara.
Dia mengaku, telah berkunjung ke semua lantai di perpustakaan tertinggi di dunia itu. Kendati demikian, karena ketakutan akan tinggi, dia belum pernah melihat langsung pemandangan Jakarta kini dari lantai tertinggi Perpusnas, lantai ke-24 (layanan koleksi budaya Nusantara dan eksekutif lounge).
“Istri saya pasti larang kalau lihat dari balkon kaya gitu. Biar mereka aja yang lihat kondisi Jakarta sekarang dari atas,” tutur Adam sambil menoleh pada sekumpulan pelajar dekat resepsionis.