REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebutkan dari 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2016 hingga 2020 kurang dari 30 persen kasus yang hanya diproses secara hukum. "Hal tersebut berdasarkan kajian Komnas Perempuan atas kasus perkosaan yang dilaporkan pada lembaga layanan pengaduan," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada webinar Doa Lintas Iman untuk Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Alasan tidak diproses atau tidak ditindaklanjutinya kasus juga beragam. Salah satunya kasus yang dilaporkan pada tingkat substansi karena tidak mengenal bentuk kekerasan meskipun itu sebuah pemerkosaan. "Kita tahu definisinya di KUHP sangat terbatas," ujar Andy.
Hal tersebut belum lagi termasuk soal aturan pembuktian, budaya menyangkal, bahkan menyalahkan korban yang masih banyak terjadi di tengah masyarakat. Secara umum, dari puluhan ribu kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke berbagai lembaga negara, masyarakat dan Komnas Perempuan sekitar 7.300 di antaranya adalah kasus kekerasan perkosaan.
Di satu sisi, Andy menyadari di dalam banyak peraturan tentang layanan terpadu bagi korban, upaya perlindungan masih terbilang terbatas atau minim. Data Komnas Perempuan menunjukkan kurang dari 7 persen dari 128 kebijakan di tingkat daerah yang berbicara mengenai layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan.
Mereka mengaku visum akan dilakukan secara gratis. Padahal, minimnya visum terhadap para korban akan menjadi halangan yang luar biasa untuk membuktikan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual.
Hal tersebut menjadi sejumlah masalah bagi korban untuk memperoleh keadilan dan pemulihan. Komnas Perempuan mengkhawatirkan banyak korban pada akhirnya tidak dapat ditangani dan dilindungi dengan baik."Kami banyak menemukan korban tidak memiliki pilihan lain untuk menolak atas kekerasan seksual yang dialami," kata dia.