Sabtu 15 Jan 2022 05:49 WIB

Saat Dunia Saling Sikut Berebut Bahan Bakar

Negara-negara konsumen terbesar energi dunia berebut pasokan bahan bakar.

Red: Joko Sadewo
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk di Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), Marunda, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Pemerintah telah mencabut kebijakan larangan ekspor batu bara secara bertahap dengan pertimbangan terkait mekanisme ekspor dan pemenuhan
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk di Pelabuhan PT Karya Citra Nusantara (KCN), Marunda, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Pemerintah telah mencabut kebijakan larangan ekspor batu bara secara bertahap dengan pertimbangan terkait mekanisme ekspor dan pemenuhan

Oleh : Nidia Zuraya*

REPUBLIKA.CO.ID, Kabar tak sedap datang di penghujung tahun 2021 lalu. Sang pemberi kabar adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN).

PLN menyampaikan kabar bahwa pasokan batu bara untuk pembangkit listrik berada di bawah ambang batas normal. Kondisi pasokan yang minim ini berpotensi pemadaman listrik nasional.

Indonesia pada tahun 2020 merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, dengan jumlah produksi 562,5 juta ton. Karenanya sangat mengherankan jika PLN yang statusnya badan usaha milik negara (BUMN) ini sampai kekurangan stok batu bara.

Standar cadangan pasokan batu bara konsolidasi minimal untuk pembangkit listrik PLN adalah 20 Hari Operasi (HOP). Sementara total kebutuhan batu bara untuk mencapai HOP ideal minimal 20 hari ini berkisar antara 16 sampai 20 juta ton.

Menurut data yang disampaikan PLN awal Januari lalu, BUMN sektor kelistrikan ini baru mengantongi kontrak pasokan batu bara pada bulan ini sebanyak 13,9 juta ton. Pasokan ini untuk memenuhi dari total kebutuhan batu bara sepanjang Januari ini sebanyak 20 juta ton. Artinya, PLN masih kekurangan pasokan batu bara untuk kebutuhan bulan Januari ini sebanyak 6,1 juta ton.

Untuk menghindari terjadinya pemadaman listrik skala nasional, pemerintah mengambil langkah cukup berani. Pemerintah melarang setiap perusahaan batu bara yang beroperasi di Indonesia untuk menjual batu baranya ke luar negeri selama bulan Januari ini.

Kebijakan larangan ekspor batu bara ini langsung menuai banyak protes. Tak hanya dari kalangan pengusaha batu bara, protes juga datang dari negara-negara yang selama ini menjadi konsumen batu bara Indonesia.

Sedikitnya ada tiga negara yang secara resmi menyampaikan protesnya ke pemerintah Indonesia, yakni Jepang, Korea Selatan dan Filipina. Ketiga negara ini masih mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk menggerakkan roda perekonomian.

Tak hanya batu bara yang diperebutkan, sumber energi utama yang juga diperebutkan adalah gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG). Selain krisis pasokan batu bara, PLN ternyata juga sedang krisis pasokan LNG. Presiden Joko Widodo pun harus ikut 'turun tangan' meminta semua pasokan LNG dalam negeri untuk bisa didistribusikan ke PLN sebagai bahan bakar pembangkit.

Guna mengamankan pasokan LNG untuk pembangkit listrik, negara-negara Eropa bahkan sampai harus melakukan 'sabotase' kargo gas yang akan dikirim ke China. Konsumen LNG dari benua biru ini bahkan rela membayar dengan harga premium untuk mendapatkan pasokan LNG tersebut.

Sejak Agustus 2021 lalu, Eropa sangat kekurangan gas alam. Lonjakan harga telah mendorong inflasi di seluruh Uni Eropa. Uni Eropa sejauh ini menyalahkan Rusia karena menyebabkan krisis gas ini.

Krisis energi di Eropa telah menaikkan harga gas. Sebagian besar penjual ingin memperoleh keuntungan dari kenaikan harga yang luar biasa ini selama itu berlangsung.

Menurut data yang dirilis Kpler dan Bloomberg, pekan lalu sebanyak 13 kapal kargo LNG dari Amerika Serikat (AS) dan Afrika Barat dialihkan dari Asia ke Eropa. Jumlah ini naik dari sekitar delapan kapal yang terlihat seminggu sebelumnya.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia dua tahun terakhir telah menimbulkan krisis energi di banyak negara. Pandemi Covid-19 telah menghambat aktivitas ekonomi. Ketika aktivitas ekonomi menurun, permintaan energi juga menurun. Karena itu, produsen energi utama dunia memangkas produksi minyak, gas bumi, dan batu bara.

Namun, kurang dari setahun sejak vaksin pertama diluncurkan di AS, pada Desember 2020, banyak negara yang sudah keluar dari kondisi lockdown dan ekonominya berangsur pulih. Hal ini membuat aktivitas ekonomi di banyak negara kembali bergeliat dan permintaan energi juga meningkat.

Sayangnya, tingginya permintaan terhadap sumber energi primer ini tidak diimbangi dengan pasokan yang melimpah. Akibatnya, negara-negara konsumen terbesar energi dunia kini saling berebut untuk mendapatkan pasokan. Sementara, negara-negara produsen energi berusaha mengamankan cadangan di dalam negeri.

Kondisi tersebut membuat harga sumber energi primer melonjak drastis. Dunia dikagetkan dengan harga batu bara di bursa batu bara ICE Newcastle yang menembus angka 270 dolar AS per ton pada awal Oktober 2021 lalu. Harga batu bara telah naik 450 persen dalam satu tahun.

Sama halnya dengan gas alam, harganya mencapai 6 dolar AS per MMBTU. Kenaikan harga batu bara dan gas alam ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sejarah dan terjadi dalam waktu singkat.

Indonesia sebagai penghasil minyak bumi, LNG dan batu bara tentunya harus berada di posisi mengamankan pasokan dan stok di dalam negeri. Jangan sampai karena ingin meraup keuntungan besar dari melonjaknya harga komoditas energi primer ini, kepentingan nasional diabaikan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement