REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Dr Firman Kurniawan mengatakan kehadiran Non-Fungible Token atau NFT selain membuka peluang berkreasi baru di ranah digital, juga tak lepas dari risiko digital yang mengintai. Firman mengatakan ketika berbicara tentang blockchain, NFT, crypto adalah tentang informasi dan nilai yang diberikan pada informasi tersebut.
Apakah jejaring mengapresiasi informasi yang diproduksi dan distribusi seseorang dengan nilai tinggi sehingga patut diteruskan, atau nilai yang tak penting sehingga patut diabaikan, sangat dipengaruhi oleh penilaian masyarakat dalam jejaring."Sesuatu yang tampak tak penting di dunia nyata, misalnya foto diri yang kita pajang tanpa tujuan tertentu, bisa punya nilai menakjubkan ketika didistribusikan di ruang dan waktu baru, semesta digital," kata Firman.
"Keadaan di atas di satu sisi menciptakan peluang baru dalam penciptaan nilai. Baik nilai ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ini pada gilirannya memberikan kesempatan menciptakan ruang-ruang kreasi baru. Namun di satu lain, informasi yang jadi berharga bisa jadi ancaman keamanan baru bagi seseorang. Bukankah sesuatu yang bernilai, menimbulkan kompetisi legal maupun ilegal untuk menguasainya?" ucap dia.
Menilik fenomena Ghozali Ghozalu yang menjadi viral karena kebiasaannya melakukan swafoto dan diunggah di marketplace NFT, OpenSea, Firman mengatakan hal itu menjadi sebuah contoh dimana swafoto yang di dunia nyata mungkin tak memiliki nilai, namun ketika diedarkan di semesta digital menjadi bernilai. "Sebab foto diri tadi adalah data, yang ketika diolah secara sistematis akan menjadi informasi, dan informasi yang digabungkan dengan informasi lain akan menjadi pengetahuan," kata dia.
Ia melanjutkan, pada ruang dan waktu di semesta digital, nilai pada konten (informasi) digital, misalnya NFT atau cryptocurrency, proses pemberian dan pengakuan nilai oleh jejaring berjalan lebih masif. Ini terjadi akibat individu-individu yang berkumpul di dalam jejaring, diprasaranai oleh mikro elektronik seperti perangkat pintar beserta platform digitalnya, yang makin terjangkau dan dimiliki masyarakat secara global.
"Bayangkan saja selfie Ghozali yang konsisten dilakukan setiap hari selama 5 tahun, terkumpul jadi sekitar 930 foto dan ditawarkan sebagai NFT di semesta digital. Ditawarkan sebagai NFT artinya, konten (informasi) digital yang siap diberi nilai oleh masyarakat dalam jejaring konsumen NFT," kata Firman.
"Manakala salah satu konsumen mengakui bahwa konsistensi Ghozali dalam bentuk NFT-nya patut mendapat nilai yang tinggi, dan pengakuan itu tersebar di dalam jejaring, maka naiklah nilai NFT Ghozali. Sesederhana itu," imbuhnya.
Ia menambahkan, sebaliknya manakala pengakuan terhadap nilai yang tinggi ramai-ramai dicabut oleh masyarakat dalam jejaring konsumen, selesailah nilai NFT tertentu, seperti NFT "Squid Game" yang sebelumnya bernilai sangat tinggi, dalam hitungan hari menjadi komoditas digital yang tak bernilai apa pun.