REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Memasuki tahun 2022 tentunya menjadi harapan banyak orang, tak terkecuali insan properti Tanah Air. Gelombang pandemi yang mulai terkendali diikuti menggeliatnya kegiatan ekonomi memberi harapan positif bagi sejumlah pengembang.
Produk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) masih menjadi unggulan pilihan konsumen dalam mendapatkan rumah idaman. Fleksibilitas masa tenor dan pembayaran uang muka 10 persen, menjadikan produk ini banyak diminati konsumen. Sumber pembiayaan KPR mencapai 75,08 persen di Kuartal II 2021, pertumbuhan KPR secara tahunan (yoy) di Kuartal II 2021 mencapai 7,24 persen.
Beragam kebijakan yang dirilis Pemerintah menjadi stimulus bagi sektor riil ini. Sebut saja suku bunga acuan di level 3,5 persen (terendah sepanjang sejarah), relaksasi Loan to Value (LTV) yang memungkinkan konsumen mendapatkan KPR dengan uang muka 0 persen, serta Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas properti siap huni yang diperpanjang hingga akhir Desember 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 103/PMK.010/2021.
Perpanjangan insentif ini disambut hangat pihak pengembang dan terbukti meningkatkan penjualan rumah siap huni. Melihat hal ini, para pengembang mengusulkan agar insentif ini diperpanjang hingga 2022.
Untuk pasar rumah subsidi, terjadi perubahan besar. Dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang semula dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), akhir tahun 2021 ini akan beralih ke BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat).
Penyaluran dana FLPP tahun 2021, ditutup dengan angka tertinggi sejak dimulainya penyaluran pada 2010, yakni sebanyak 178.728 unit dengan nilai Rp19,57 triliun. Di 2022, Kementerian PUPR menargetkan KPR FLPP dapat membiayai sebanyak 200.000 rumah. Menunjang mencapai target tersebut, pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp23 triliun.
Di luar anggaran tersebut, Pemerintah juga menganggarkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp812 miliar, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp1,6 miliar. Sedangkan, program Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2022 sudah tidak ada lagi. Lantas, apakah kebijakan Pemerintah ini kontra produktif terhadap target Program Sejuta Rumah yang telah berjalan sejak 2015?
Kepala Divisi Subsidized Mortgage Lending Division PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Mochamad Yut Penta mengatakan, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada penyaluran KPR Subsidi di Tahun 2021.
Menurutnya, sektor informal belum tergarap secara maksimal. Sesuai realisasi 2021, sektor informal hanya mampu tergarap 12 persen dari total keseluruhan. Sehingga, diperlukan strategi dalam mendorong penyerapan realisasi dari sektor informal. Selain itu, imbuh Penta, belum ada lembaga yang berfokus dalam mengontrol ketepatan sasaran, kualitas, dan keterhunian rumah. "Pemerintah telah mengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan persetujuan bangunan gedung (PGB) di Tahun 2021. Namun, hal ini tidak diikuti dengan penerbitan Perda dan Sistem PBG secara nasional," katanya di sela diskusi yang digelar Forum Wartawan Perumahan (Forwapera) Jumat (14/1).
Terkait dengan pembiayaan perumahan di tahun 2022, dia menuturkan, pertumbuhan pembiayaan perumahan akan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi perekonomian nasional, antara lain pengendalian covid-sehingga tidak terjadi gelombang kasus baru-serta kebijakan pemerintah. "Setiap terjadinya gelombang penambahan kasus baru, maka ekonomi akan melambat dan berdampak pada turunnya berbagai sektor, termasuk perumahan," kata Penta.
Dia juga menyoroti program stimulus PPN yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) yang ditengarai memicu tumbuhnya KPR secara nasional sepanjang pandemi. Perpanjangan program ini diyakini akan mampu mendorong tumbuhnya industri perumahan di 2022.
Menurut Heliantopo, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) prosentase KPR di Indonesia masih kecil di bawah 10 persen, padahal pertumbuhan perumahan tidak ada matinya."Strategi ke depan SMF adalah melakukan kerjasama pembiayaan perumahan untuk pekerja di sektor informal (KreditMikro) dan inisiasi programbaru untuk mendukung keterjangkauan pemilikan rumah bagi MBR," tuturnya.
Wakil Ketua Umum DPP REI, Danni Wahid mengatakan kebangkitan industri properti sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor properti berkontribusi sebesar 13,6 persen terhadap PDB nasional dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 8,5 juta pekerja atau 6,95 persen dari total tenaga kerja nasional tahun 2020."Seperti disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Rakernas REI lalu bahwa industri properti memiliki multiplier effect dan rantai pasok terhadap 175 industri lain yang sangat tinggi konten lokal," ujar Danni.
Meski berkontribusi cukup signifikan, namun masih sangat banyak hambatan di lapangan. Salah satunya, kata Danni, menyangkut adanya kendala terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)."Mayoritas daerah belum menetapkan Perda Retribusi PBG. Kalau pemerintah tidak memastikan Perda PBG ini selesai di bulan Januari, maka akan berdampak pada produksi rumah dan serapan insentif PPN DTP," katanya.
Junaidi Abdillah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan, bisnis properti sudah teruji terbukti saat krisis 1998. Tren industri properti masih lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. "Kendati terlambat, properti bisa berkontribusi dalam masa-masa sulit sekarang ini dan menjadi bagian dari industri strategis," katanya.