Ahad 16 Jan 2022 07:20 WIB

Sejarah Kebrutalan Belanda di Bali dan Penyesalan Kolektif yang tak Pernah Ada

Sejarah kekerasan kolonail Belanda di Bali

Red: Muhammad Subarkah
Tentara Belanda berpatroli di pedesaan Indonesia dalam masa perang kemerdekaan.
Foto: javapost.nl
Tentara Belanda berpatroli di pedesaan Indonesia dalam masa perang kemerdekaan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan, Jurnalis Senior

Feddy Poeteray, mantan serdadu Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), menceritakan sekelumit kekejaman yang dilakukan rekan-rekannya terhadap rakyat Bali antara 1946-1949.

"Kami bertemu sekelompok orang Bali yang mengenakan pin Merah Putih Indonesia," Poeteray memulai ceritanya. "Saya tunjuk pin itu seraya bertanya: Apa Itu? Makan."

Orang-orang Bali itu, Poeteray melanjutkan, menelan pin logam itu tapi tak sampai masuk ke perut karena jarum menancap di tenggorokan. Serdadu KNIL membiarkan orang-orang itu tersiksa tak bisa bernapas, sekarat, dan meregang nyawa. 

“Jika mereka tak menelan pin itu, kami tembak mereka,” ujar Feddy. “Kami tahu mereka mungkin warga sipil tak bersalah.”

Kisah di atas hanya satu dari sekian puluh cerita kekejaman Belanda di Bali selama perang kemerdekaan Indonesia, Belanda menyebutnya Perang Dekolonisasi, 1946-1949 yang terangkum dalam buku De strijd om Bali, atau Pertempuran untuk Bali, karya sejarawan Anne Lot Hoek.

Dalam tinjauan atas buku ini di situs Javapost.nl, Jeroen van der Kris menulis; “Ada banyak cerita mengerikan dalam buku ini.” Jurnalis Tonny Van Der Mee, dalam tulisannya di situs bndestem.nl, mengatakan di balik citra Bali sebagai surga yang damai terdapat sejarah kolonial paling kejam.

De strijd om Bali ditulis berdasarkan kesaksian pelaku, yaitu prajurit KNIL, keluarga tentara yang tinggal di kamp, dan penduduk Bali yang masih menyimpan cerita kekejaman itu.

Nyonya Van der Zee punya kesaksian lain. Sebagai putri prajurit KNIL, ia tinggal di kamp militer di Bali. Kamp terdiri dari dua bagian; asrama tentara dan rumah-rumah untuk keluarga. Ada juga bagian kamp yang digunakan untuk tahanan dan keluarga tentara tak diizinkan pergi ke tempat itu.

Van der Zee masih berusia tujuh tahun saat tinggal di salah satu kamp militer di Bali. Ia diam-diam mendatangi penjara dan melihat tahanan berwajah hitam dan biru. Di belakang kamp terdapat makam, tapi tidak ada gundukan tanah.

“Di malam hari, saya sering mendengar suara plop, lalu bunyi tubuh jatuh,” kenang Van der Zee. “Saya lihat ibu menangis dan berkata; Oh, ada satu lagi.”

Hal yang juga tak bisa dilupakan Van der Zee adalah ketika dia menyaksikan ayahnya dan rekan rekan prajurit KNIL berangkat patroli rutin. Beberapa jam kemudian sang ayah kembali dengan sebuah truk.

“Truk itu berisi mayat orang Bali, yang akan dibuang ke suatu tempat entah di mana,” kata Van der Zee. “Saya memperkirakan ada 50 mayat di truk itu.

Dalam satu kesempatan, Van der Zee menyaksikan mayat-mayat korban penyiksaan digeletakan berbaris di lapangan. Keluarga korban datang dan mengambil mayat-mayat itu.

“Saya masih menderita dengan pemandangan mengerikan itu,” kata Van der Zee.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement