Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yetti Rochadiningsih

Pembajakan Buku dan Penerbit Nakal, Ibarat Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Bisnis | Sunday, 16 Jan 2022, 12:31 WIB

Beberapa waktu lalu Dr. Sabartua Tampubolon, mantan bos saya bercerita. Perhatian pemerintah untuk memberikan sanksi terhadap penerbit nakal dan pelaku pembajakan masih tetap jalan di tempat. Penerbit nakal dan pembajakan barang khususnya buku masih merajalela, penulis masih sering dirugikan terutama terkait hak eksklusif mereka sebagai pemilik hak kekayaan intelektual. Para pemilik hak eksklusif seperti di ghosting oleh pemerintah, karena upaya untuk memberantas dan memberikan efek jera kepada para pelaku kadang riuh dan kemudian senyap.

Begini, pada tahun 2013 Dr. Sabartua Tampubolon menerbitkan sebuah buku yang berjudul Politik Hukum Iptek di Indonesia. Kala itu proses pembayaran royalti atas buku tersebut berjalan lancar oleh sang penerbit, namun lambat laun mulai tersendat dan akhirnya beliau tidak pernah lagi menerima hak ekonomi selaku pengarang buku tersebut.

Masih di tahun 2013 kita sempat di hebohkan oleh salah satu penerbit nakal dengan beredarnya buku pelajaran bermuatan materi porno pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas VI dan buku tersebut digunakan oleh sejumlah SDN di Kota Bogor (baca: https://nasional.tempo.co/read/495323/muatan-porno-di-buku-sd-sanksi-ke-penerbit-lemah/full&view=ok).

Bukan hanya itu, tahun 2020 kawan saya Nanda seorang mahasiswi juga mengalami hal yang sama. Dia di tawari untuk menerbitkan disertasinya menjadi sebuah buku oleh salah satu pembimbingnya kepada salah satu penerbit, tahun berikutnya tanpa seizin dan pemberitahuan, sang penerbit membuat cetakan terbaru dengan cover yang telah di desain ulang, bahkan dia sendiri tidak merasa menandatangani perjanjian terkait penerbitan buku tersebut.

Upaya penanggulangan jalan di tempat

Upaya pemerintah dari dulu hingga kini dalam mengatasi pelanggaran hak cipta di negeri ini dapat dikatakan belum maksimal alias jalan di tempat. Pelanggaran hak cipta tidak selalu terjadi hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan, seperti kata bang napi. Hak Kekayaan Intelektual/HKI merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Nasional.

Indonesia merupakan salah satu negara tertinggi dalam hal kasus pelanggaran hak cipta. Umumnya dampak pelanggaran hak cipta sangat merugikan pencipta secara material, namun lebih luasnya pelanggaran hak cipta dapat menurunkan motivasi seseorang dalam berkreasi, karena pelanggaran tersebut dapat mengikis hak moral dan hak ekonomi.

Menurut Dr. Sabartua Tampubolon, di Kemenparekraf/Bekraf sudah memiliki satgas penanggulangan pelanggaran HKI. Bahkan Kemenparekraf/Bekraf mengajak IDEA (asosiasi penjual online) dan sedang memikirkan teknis untuk menanggulanginya.

Pelindungan kekayaan intelektual melalui penegakan hukum bagi pelanggar hak kekayaan intelektual di Indonesia menganut pada asas delik aduan. Delik aduan menganut penegakan hukum akan dilaksanakan jika pemilik hak merasa dirugikan dan melaporkan pelanggaran yang terjadi kepada aparat penegak hukum. Di Indonesia aparat penegak hukum kekayaan intelektual dapat diadukan melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Kekayaan Intelektual atau melapor kepada kepolisian.

Tindakan tegas negara maju (denda, biaya hukum, dan litigasi pajak)

Semenjak dunia memasuki era teknologi digital dimana segala sesuatu saat ini menggunakan otomatisasi dan internet of things, kasus pembajakan karya cipta di berbagai negara juga semakin memicu kebutuhan peningkatan perlindungan hukum terhadap berbagai karya cipta.

Jumlah barang-barang bermerek imitasi yang diimpor ke Jerman meningkat pesat sekitar tahun 2008. Plagiarisme yang ditemukan pabean tahun sebelumnya bernilai total 425 juta euro, tiga kali lebih banyak daripada tahun 2005.

Siapapun yang tertangkap dengan plagiarisme lebih dari jumlah yang diperbolehkan diancam dengan proses pidana pajak oleh bea cukai. Selain itu, ada risiko litigasi yang mahal dengan pemilik merek dagang, pada prinsipnya dengan setiap kasus pemalsuan.

Wisatawan yang tertangkap kemudian diperingatkan. Artinya: Dia harus mengkonfirmasi secara tertulis bahwa dia tidak akan melakukan plagiarisme lagi di masa depan. Selain itu, ia harus menanggung biaya hukum, yang biasanya berjumlah beberapa ratus euro. Selain itu, para penyelundup plagiarisme juga harus menanggung biaya pemusnahan. Rata-rata, sekitar 1500euro harus dibayar.

Namun dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya, pembeli imitasi mendapatkan harga yang cukup murah jika tertangkap di negara ini: Di Italia, seorang turis Denmark harus membayar denda 10.000euro untuk membeli kacamata hitam Gucci palsu seharga sepuluh euro di pantai di Liguria. Di Prancis, Anda menghadapi hukuman tiga tahun penjara karena memiliki barang-barang bermerek palsu (Baca: https://www.welt.de/reise/article1885544/Plagiate-findet-der-Zoll-gar-nicht-toll.html)

Wilayah rentan pelanggaran HKI

Dari hasil pemetaan pelanggaran HKI tahun 2020, tingkat pelanggaran HKI paling tinggi terpusat di wilayah-wilayah pulau Jawa, dengan Jakarta menempati posisi pelaporan kejadian pelanggaran tertinggi sejak tahun 2017-2020 kemudian Banten, Yogyakarta dan Jawa Timur. Di Luar pulau Jawa daerah Riau dan Kepulauan Riau menunjukkan tingkat pelanggaran diatas rata-rata pelanggaran di luar pulau Jawa, kemungkinan hal ini disebabkan posisi kedua wilayah ini yang berada di perbatasan dan dilalui lalu lintas perdagangan yang cukup tinggi (Dikutip dari Laporan Tahunan DJKI 2020).

Sumber: Laporan Tahunan DJKI 2020

Pesatnya kemajuan teknologi memudahkan seseorang mendapatkan karya literasi di dunia digital. Hal ini menambah kompleks permasalahan terkait pelindungan hak cipta literasi, di mana dahulu masalah pembajakan buku hanya sebatas foto kopian saja, tetapi sekarang buku tersebut dapat menyebar luas tanpa sepengetahuan para pencipta dan penerbitnya dalam bentuk pdf (Dikutip dari dgip.go.id, Literasi Digital Menjadi Pelanggaran Baru Hak Cipta, 01/10/2020).

Upaya terobosan pemerintah

Saya dengar bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menghadirkan suatu inovasi, pelaporan berbasis digital. Untuk memudahkan para pemilik hak kekayaan intelektual dalam hal mengadukan pelanggaran HKI yang terjadi di masyarakat.

Mulai 2020 DJKI mengubah sistem syarat pengajuan aduan pada aplikasi e-pengaduan, cukup dengan menggunakan KTP dan sertifikat HKI yang dimiliki saja sehingga memudahkan masyarakat untuk melaporkan aduan nya.

Nah, setelah sarana untuk pengaduan dibuat, apakah langkah selanjutnya? Tindakan apa yang akan di lakukan? Yakin sudah siap melakukan penindakan?

Saya percaya jika pemerintah bersungguh-sungguh akan meminimalisir permasalahan ini, suatu saat kelak Indonesia tidak lagi di kenal sebagai negara yang memiliki citra buruk dalam hal pelanggaran hak cipta.

Caranya adalah dengan upaya pre-emptif, preventif dan represif. Upaya pre-emptif dilakukan dengan cara penyadaran yaitu pendidikan HKI. Upaya preventif dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi cyber police untuk memonitor marketplace jika ditemukan pelanggaran HKI maka izin usaha pihak marketplace dapat di blokir permanen dan si pelanggar wajib membayar kerugian kepada si pemilik hak. Upaya represif dengan cara menangkap si pelaku, hal ini dapat dilakukan jika pelaku sudah benar-benar meresahkan dan merugikan secara besar-besaran, baik terhadap si pemilik HKI atau pun negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image