Senin 17 Jan 2022 15:51 WIB

Jerman Ingin Hubungan yang Stabil dengan Rusia

Menlu Jerman akan bertemu Menlu Rusia untuk menyampaikan keinginan hubungan stabil

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Menteri Luar Negeri Federal Jerman Annalena Baerbock
Foto: Olivier Hoslet/Pool Photo via AP
Menteri Luar Negeri Federal Jerman Annalena Baerbock

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman, Annalena Baerbock diagendakan melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov di Moskow pada Selasa (18/1/2022). Pada kesempatan itu, Baerbock ingin menyampaikan keinginan negaranya menjalin hubungan stabil dengan Rusia.

“Selama pembicaraan saya di Moskow, penting bagi saya untuk menunjukkan posisi (kami). Pemerintah federal yang baru menginginkan hubungan yang menyeluruh dan stabil dengan Rusia. Daftar masalah konflik yang perlu kita diskusikan panjang,” kata Baerbock, Senin (17/1/2022), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Selain isu konflik, Baerbock akan turut membahas kerja sama bilateral di bidang sains, budaya, perdagangan, sumber energi terbarukan, dan iklim. Dari Moskow, Baerbock akan bertolak ke Kiev, Ukraina. Seperti diketahui, saat ini hubungan Rusia dan Ukraina tengah dibekap ketegangan. Rusia dikabarkan mempunyai rencana untuk menyerang negara tetangganya tersebut.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengusulkan pembicaraan tiga arah dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membahas ketegangan yang sedang berlangsung.

“Presiden Zelensky mengusulkan kepada Presiden Biden dan kami pikir itu dapat diselesaikan untuk mengatur pertemuan trilateral, mungkin melalui konferensi video, antara Presiden Biden, Presiden Zelensky dan Presiden Putin,” kata kepala kantor kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak, Sabtu (15/1/2022) pekan lalu.

Pada Selasa (11/1/2022) lalu, Zelensky juga menyerukan digelarnya pertemuan puncak yang melibatkan Prancis, Jerman, dan Rusia. Dia tak menyangkal adanya kekhawatiran Rusia akan melancarkan agresi mengingat sudah mengerahkan seratus ribuan pasukan ke perbatasan kedua negara.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement