Senin 17 Jan 2022 20:34 WIB

Dilema Pakistan di Antara Pengakuan dan Penolakan Ilmuwan Non-Muslim

Sejumlah ilmuwan non-Muslim di Pakistan tidak mendapatkan posisi

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Bendera Pakistan. Sejumlah ilmuwan non-Muslim di Pakistan tidak mendapatkan posisi
Foto: www.tiptoptens.com
Bendera Pakistan. Sejumlah ilmuwan non-Muslim di Pakistan tidak mendapatkan posisi

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD —P vez Hoodbhoy, seorang fisikawan dan penulis yang tinggal di Islamabad, menuliskan kerugian yang dialami Pakistan karena menolak mengakui kehadiran ilmuwan non-Muslim. 

Sebuah artikel DAWN yang mengulas tentang Har Gobind Khorana (1922-2011) membawanya kembali ke 50 tahun yang lalu. Kala itu, bersama dengan 600 mahasiswa lainnya, ia memadati ruang kuliah terbesar MIT 26-100 untuk mendengarnya berbicara. 

Baca Juga

Karena tidak mengerti dasar-dasar biologi molekuler, ia memutuskan hanya bertahan setengah jalan. Keingintahuan telah mendorong ia menuju ruangan itu, mengingat profesor MIT yang terkenal ini telah memenangkan Hadiah Nobel 1968 dan memulai bidang baru. 

Lebih menarik lagi, ia adalah seorang warga Lahore dengan gelar sarjana dan master dari Universitas Punjab. 

Lahore disebut tidak tahu, atau bahkan tidak peduli, terkait pria ini. Hal yang sama juga berlaku untuk Subrahmanyan Chandrasekhar (1910-1995), yang menjadi Pemenang Nobel sebagai pengakuan atas karya definitifnya tentang kematian bintang. 

Saat ini satelit NASA bernama Chandra menjelajahi langit untuk mencari bintang neutron, lubang hitam, dan objek astronomi tidak biasa lainnya. 

Adapun kisah Abdus Salam (1926-1996) terlalu terkenal untuk diulang di sini. Ia merupakan pemenang Nobel fisika 1979, yang belajar di Government College (GC) Lahore dan mengajar di Universitas Punjab. Namun, tidak ada jalan atau landmark di Lahore yang menyandang nama Salam, Khorana, atau Chandrasekhar. 

Dilansir di DAWN, Senin (17/1/2022), ada sebuah lembaga afiliasi GC bernama Sekolah Studi Matematika Abdus Salam. Namun, untuk menampilkan namanya di papan nama bisa berbahaya, terlebih di kota yang sering dicengkeram oleh semangat keagamaan. 

Di GC, ada dua ahli matematika dalam teori bilangan. Salah satunya adalah Sarvadaman Chowla, seorang ahli matematika ulung yang mengepalai Departemen Matematika dari tahun 1937 hingga 1947. 

Menjadi seorang Hindu, ia meninggalkan Lahore setelah kerusuhan dimulai dan pergi ke Universitas Princeton, kemudian Universitas Colorado di Boulder, dan akhirnya menjadi profesor di Universitas Pennsylvania.

Ia meninggal pada 1995 dan dirayakan sebagai ahli teori bilangan terkenal oleh American Mathematical Society dengan beberapa teorema penting atas namanya.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

Menolak non-Muslim dengan jasa profesional yang tinggi, ujar Hoodbhoy, telah menimbulkan kerugian besar bagi Pakistan. Pertama, kondisi ini membuat negara kehilangan mereka yang bisa membantu dalam hal membangun basis ilmiah. 

Di sisi lain, sulit bagi negara untuk menciptakan meritokrasi institusional. Setelah Pemisahan, banyak orang pintar memainkan kartu agama atau etnis dan secara tidak layak naik ke posisi otoritas tinggi. Pada waktunya, mereka menjadi penjaga gerbang institusional dengan konsekuensi bencana. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement