REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sunat, telah berkembang dari waktu ke waktu dan sangat bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Langkah dasarnya tetap sama, yaitu seorang profesional medis atau mantri menggunakan benda tajam untuk menghilangkan sedikit kulit yang menutupi ujung penis (kulup).
Dilansir di laman Discover Magazine, Selasa (18/1/2022), sunat jarang membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit. Namun konsekuensinya, tetap ada pada penerimanya sampai akhir hayatnya. Sunat dapat memengaruhi cara orang melakukan fungsi tubuh dasar seperti buang air kecil, dan sering kali juga memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi mereka.
Di tengah praktik yang meluas saat ini, sunat menimbulkan sejumlah pertanyaan yang belum terselesaikan. Beberapa profesional medis berpendapat kulup, meskipun sering dianggap tidak berguna dan tidak nyaman, sebenarnya memiliki tujuan penting yang tersembunyi.
Dokter pertama yang mempromosikan sunat di dunia barat adalah Jonathan Hutchinson. Dia melakukan penelitian yang keliru tapi tetap berpengaruh pada 1855. Studinya menyimpulkan bahwa populasi Yahudi yang disunat di London kurang rentan terhadap penyakit kelamin dibandingkan mereka yang tidak disunat.
Hutchinson menjelaskan pada 1890, kulup merupakan pelabuhan bagi kotoran dan sumber iritasi yang konstan. Ini mengarah pada masturbasi dan menambah kesulitan kontinensia seksual. "Ini meningkatkan risiko sifilis di awal kehidupan, dan kanker di usia lanjut," kata dia kala itu.
Hutchinson bukan satu-satunya dokter yang mempromosikan sunat kepada pasien non-agama. Profesional medis lainnya, termasuk dokter anak Nathaniel Heckford dan ahli bedah New York Lewis Sayre, mengeklaim sunat dapat digunakan sebagai pengobatan yang layak untuk sejumlah penyakit, mulai dari kelumpuhan hingga korea dan epilepsi.
Gagasan sunat bermanfaat secara medis menyebar dari Inggris ke Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lainnya. Orang Korea Selatan, misalnya, mulai melakukan sunat pada anak muda setelah Perang Korea. Dipengaruhi oleh keterlibatan Amerika, mereka menyebutkan alasan kesehatan sebagai motivasi utama di balik program sunat yang disponsori negara.
Perlu dicatat bahwa Hutchinson, Sayre, dan Heckford bekerja di era Victoria di mana ada anggapan di masyarakat bahwa sunat menjadi cara ampuh mencegah anak-anak mereka melakukan masturbasi.
Seorang dokter dan ahli gizi Amerika, John Harvey Kellogg, yang terkenal dengan merek cornflake-nya, sangat percaya pada sunat karena alasan ini. Dalam bukunya pada 1888 berjudul Plain Facts for Old and Young, dia menulis prosedur ini hampir selalu berhasil pada anak laki-laki kecil. "Operasi harus dilakukan oleh ahli bedah tanpa memberikan anestesi," tulisnya.
Kellogg berpikir rasa sakit singkat yang menyertai operasi akan memiliki efek menyehatkan pada pikiran, terutama jika dikaitkan dengan gagasan hukuman. Setelah era Victoria berakhir dan sikap terhadap seks berubah sekali lagi, sentimen seperti ini mengilhami dokter modern untuk melihat lebih dekat dan lebih tepat tentang sunat.
Pada 1946, dokter Douglas Gairdner menerbitkan sebuah makalah berpengaruh yang mempertimbangkan manfaat sunat dengan perspektif baru. Meskipun sunat memang dapat digunakan untuk mengobati kondisi seperti phimosis, kondisi ini terlalu jarang untuk menjamin penerapan teknik ini secara luas.
Dalam artikel yang sama, Gairdner mengusulkan kulup jauh dari sisa, istilah yang digunakan untuk fitur yang telah kehilangan fungsinya selama evolusi. Sebaliknya, katanya, itu sebenarnya dapat melayani tujuan kecil namun signifikan pada bayi baru lahir. Misalnya, melindungi kelenjar sensitif mereka dari iritasi atau cedera yang mungkin terjadi akibat kontak dengan pakaian dan popok yang basah.
Penelitian Gairdner mengumpulkan dukungan luas dan melahirkan kelompok aktivis seperti Doctors Opposing Circumcision. Organisasi semacam itu berpendapat, hampir setiap jenis mamalia di planet ini telah dilengkapi dengan kulup sehingga pasti ada penjelasan logis untuk keberadaannya.
Meskipun penelitian Gairdner semakin berpengaruh, penelitian ini diterbitkan pada saat penelitian medis tentang organ reproduksi dan penyakit menular seksual masih sangat minim. Beberapa dekade terakhir telah melihat peningkatan drastis dalam studi, yang sebagian besar datang untuk tidak setuju dengan penyelidikan asli.