REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan, lebih dari 12 ribu orang ditahan secara resmi di 27 penjara dan fasilitas penahanan di seluruh Libya. Sedangkan terdapat ribuan lainnya ditahan secara ilegal dengan kondisi tidak manusiawi.
"Saya tetap sangat prihatin dengan berlanjutnya pelanggaran hak asasi manusia para migran, pengungsi dan pencari suaka di Libya," kata Guterres dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB.
Guterres mengatakan dalam laporan pada Senin (17/1/2022), bahwa misi politik PBB di Libya yang dikenal sebagai UNSMIL terus mendokumentasikan kasus-kasus penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan pelanggaran hukum internasional lainnya di fasilitas yang dioperasikan oleh pemerintah dan kelompok lain. Dia mengatakan ribuan tahanan yang tidak muncul dalam statistik resmi yang diberikan oleh otoritas Libya tidak dapat menantang dasar hukum untuk penahanan lanjutan mereka.
"Migran dan pengungsi perempuan dan laki-laki terus menghadapi peningkatan risiko pemerkosaan, pelecehan seksual dan perdagangan oleh kelompok bersenjata, penyelundupan dan perdagangan transnasional serta pejabat dari Direktorat Pemberantasan Migrasi Ilegal, yang beroperasi di bawah Kementerian Dalam Negeri,” kata Guterres.
Sekjen PBB mengatakan UNSMIL mendokumentasikan kasus-kasus di fasilitas penjara Mitiga dan beberapa pusat penahanan yang dijalankan oleh Direktorat Pemberantasan Migrasi Ilegal di al-Zawiyah dan di dalam dan sekitar ibu kota Tripoli. Misi PBB menerima informasi yang dapat dipercaya tentang perdagangan dan pelecehan seksual terhadap sekitar 30 perempuan dan anak-anak Nigeria.
Libya yang kaya minyak telah dilanda kekacauan sejak pemberontakan yang didukung NATO menggulingkan dan membunuh diktator lama Moammar Gadhafi pada 2011. Negara Afrika Utara itu dalam beberapa tahun terakhir muncul sebagai titik transit dominan bagi para migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Afrika dan Timur Tengah, berharap untuk kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Para penyelundup telah memanfaatkan kekacauan itu dan sering kali membawa keluarga-keluarga yang putus asa ke dalam perahu karet atau kayu yang tidak lengkap. Mereka sering kali tenggelam di sepanjang rute Mediterania Tengah yang berbahaya.
Guterres mengatakan penahanan sewenang-wenang yang meluas terhadap para migran dan pengungsi terus berlanjut. Penahanan ini termasuk mereka yang diselamatkan atau dicegat saat mencoba menyeberangi Laut Mediterania ke Eropa dan dikembalikan ke Libya oleh Penjaga Pantai Libya.
Menurut Guterres, pada 14 Desember penjaga Pantai mencegat 30.990 migran dan pengungsi dan mengembalikan mereka ke Libya. "Hampir tiga kali lipat jumlah total orang yang kembali pada tahun 2020 (12.000 orang),” katanya menjelaskan lebih dari 1.300 orang tewas atau hilang dalam upaya perjalanan tersebut.
Guterres menyatakan keprihatinan serius pada orang-orang yang ditahan secara sewenang-wenang. Dia pun menyoroti orang-orang tetap kehilangan tempat tinggal menyusul operasi keamanan yang meluas pada Oktober oleh otoritas Libya dengan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional.
Dalam operasi itu, menurut Guterres, menargetkan lebih dari 5.150 migran dan pengungsi, termasuk setidaknya 1.000 perempuan dan anak-anak. Peristiwa itu pun membuat keluarga terpisah dan anak-anak hilang.
Sejak Agustus, Guterres juga mengkritik pengusiran dari perbatasan timur dan selatan Libya dari ratusan warga negara dari Chad, Mesir, Eritrea, Ethiopia, Somalia, dan Sudan, untuk kembali ke Sudan dan Chad tanpa proses hukum. "Pengusiran tidak menghormati larangan pengusiran kolektif dan pemulangan orang tanpa persetujuan mereka, dan menempatkan banyak pencari suaka dan migran dalam posisi yang sangat rentan," katanya.