REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Jabar, memberikan komentar terkait kasus dugaan dua orang pejabat SMAN 22 Kota Bandung yang diduga melakukan tindakan pungutan liar (pungli) pada siswa mutasi. Menurut Ketua FAGI Jabar,Iwan Hermawan, sebenarnya dari dulu hampir semua sekolah ada siswa mutasi dan juga ada konsekuensi untuk membayar.
"Kasus indikasi pungli di SMAN 22 Bandung, FAGI berpendapat bahwa ini adalah bentuk kesialan saja dari SMAn 22 karena ada orang tua yang melapor. Sebenarnya, dari dulu hampir semua sekolah ada mutasi dan juga ada konsekuensi untuk membayar," ujar Iwan kepada Republika, Selasa (18/1).
Iwan menjelaskan, SMAN 22 mungkin hanya memungut Rp 10 juta untuk siswa mutasi, tapi bisa saja sekolah lain lebih banyak. Apalagi, sekolah-sekolah yang di favoritkan bisa lebih dari itu jumlah yang diberikan ke sekolah saat akan pindah.
Mutasi ini, kata dia, ada 2. Yakni, mutasi karena orang tua pindah ke Bandung dan ada juga yang mutasi promosi karena dia tak diterima di sekolah yang dituju. Jadi, siswa masuk dulu ke sekolah yang di bawah gradenya atau sekolah swasta.
"Nah setelah semester 2, siswa tersebut masuk ke sekolah yang diinginkan. Dengan konsekuensi mereka membayar dengan simbiosis muatialisme, jadi dia aman," katanya.
Kecuali, kata dia, yang terjadi di SMAN 22 Bandung. Iwan tidak tahu apakah ada kesepakatan dengan membuat surat persetujuan bersedia memberikan sumbangan atau tidak.
"Kalau sekolah lain buat surat, jadi aman. SMAN 22 ini yang sial, jadi tak membuat surat itu. Intinya hampir semua sekolah sama. Tapi SMA 22 ada yang melaporkan kalau yang lain nggak ada," tegasnya.
Iwan menilai, persoalan ini timbul diakibatkan adanya keragu-raguan dari Pemprov Jabar yang tidak tegas membuat aturan boleh atau tidak sekolah melakukan pungutan. Saat ini, aturan yang ada hanya intruksi lisan dari Gubernur Jabar yang tak membolehkan ada pungutan.
"Itu hanya lisan. Padahal, dalam peraturan pemerintah No 48 tentang peranan pendidikan pada pasal 51 dikatakan bahwa sumber dana pendikan SMK/SMA berasal dari APBN, APBD dan ketiga pungutan dari orang tua. Jadi, dari sisi regulasi jelas pungutan itu halal untuk jenjang SMA dan SMK," katanya.
Kemudian, masih di peraturan pemerintah pada pasal 52 disebutkan uang tersebut disimpan direkening satuan pendidikan. Serta, digunakan untuk keperluan sekolah menutupi kekurangan APBN dan APBD.
Lalu, kata dia, Pasal 55 dikatakan jika orang tua ingin menyumbang diluar pungutan yang sdh ditentukan maka silahkan menyumbang melalui komite sekolah. Serta, di Pergub 43/2020 Pemprov Jabar memberikan bantuan untuk mengganti SPP bulanan. Tapi, bagi masyarakat yang mampu dipersilahkan untuk berkontribusi.
"Ini ambigu aturannya. Aturan nasional dan Pergub diperbolehkan (melakukan pungutan ke orang tua, red) tapi gubernur melarang," katanya.
Oleh karena itu, kata Iwan, agar tak ada lagi kepala sekolah yang menjadi korban, FAGI menuntut gubernur membuat regulasi yang melarang atau memperbolehkan pungutan di SMA seperti yang dilakukan provinsi lain.
"Saya kira jangan takut. Kalau pun ada PP 48, gubernur berhak diskresi saja PP 48 itu dengan Kepgub karena gubernur berhak memiliki kewenangan penuh dengan UU No 23/2014 kan pengelolaan sekolah diserahkan ke gubernur," paparnya.