REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat budaya dan juga dosen di Departemen Pendidikan Bahasa Sunda dan Prodi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Chye Retty Isnendes angkat bicara terkait permintaan anggota DPR RI Arteria Dahlan agar Jaksa Agung mengganti seorang kajati karena berbicara bahasa Sunda saat rapat. Chye Retty menilai secara etika pernyataan Arteria bisa menyinggung orang-orang Sunda.
Chye Retty Isnendes mengatakan, sebenarnya untuk menganalisis masalah ini memang membutuhkan data dan konteks yang jelas. "Yang pertama, saya kira secara bernegara ini sudah menyimpang dari Undang-undang Dasar 45, tentang bahasa pasal 32. Itu kan ada dua ayat, ayat satu bahwa negara menjamin berbudaya di antaranya. Yang kedua (ayat dua) negara menghormati menggunakan bahasa daerah dan nanti ada penjelasannya di situ, bahwa bahasa-bahasa yang dipakai, dihormati dan dijunjung itu tanggung jawab pemerintah," kata dia ketika berbincang dengan Republika, Selasa (18/1/2022).
Ia juga mengingatkan, bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi masyarakat. "Yang kedua, dalam tatanan nasional, kita kan bukan eka bahasawan, kita itu sudah dwi bahasawan, bahwa bahasa Indonesia dan daerah seperti keping uang yang tidak bisa dipisahkan," ujarnya.
Catatan lainnya, ia menyebut bahwa pernyataan ini sangat tidak pantas diucapkan terutama oleh wakil rakyat. Hal ini akan akan membuat orang Sunda merasa distereotipkan yang tidak baik.
Chye Retty menuturkan pencopotan Kajati seperti yang diminta politikus PDIP Itu tidak dapat dibenarkan. Terutama karena berbicara bahasa Sunda merupakan tindakan yang tidak melanggar hukum.
"Kemudian ini jadi menimbulkan kekhawatiran kalau seperti ini. Orang yang dianggap sebagai wakil rakyat saja seperti itu pemikirannya tentang bahasa daerah, bahasa daerah apa pun, ya. Apakah tidak belajar etika ketika di forum seperti itu agar lebih bijaksana dan mengerti bahwa kondisi bangsa kita ini sangat multikultural," ucap dia.