REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim PN Tipikor Jakarta Pusat menetapkan vonis nihil terhadap terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat. Tapi Majelis Hakim tetap menyatakan Heru Hidayat bersalah melakukan korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 22,7 triliun.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Heru Hidayat telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam dakwaan kesatu primer dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," kata hakim ketua IG Eko Purwanto dalam pembacaan putusan, Selasa (18/1/2022).
Majelis Hakim menetapkan Heru Hidayat bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Heru juga melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Menjatuhkan pidana dengan pidana nihil kepada terdakwa," ujar hakim Eko.
Vonis ini tak sesuai dengan tuntutan jaksa dimana dalam kasus ini Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) tersebut dituntut hukuman mati. Heru Hidayat juga dituntut dengan kewajiban membayar pidana pengganti sebesar Rp12,643 triliun.
Jika Heru tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh kejaksaan dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Kendati demikian, Heru Hidayat tercatat divonis seumur hidup di kasus korupsi Jiwasraya yang merupakan hukuman pidana maksimal. Keputusan itulah yang membuat hakim mempertimbangkan vonis nihil terhadap Heru Hidayat di kasus Asabri.
Majelis hakim mengutip Pasal 67 KUHP yang mengatur 'seseorang yang sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu'. "Meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka pidana yang dijatuhi dalam perkara a quo adalah nihil," ucap hakim Eko.
Baca juga: Cegah Kasus Asabri Terulang dengan Mitigasi Risiko
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Ardito Muwardi menghargai perbedaan pendapat yang terjadi dalam menyikapi vonis nihil terhadap terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat. Ia mengakui ada sebagian pihak yang menganggap hukuman mati memang tak tepat dijatuhkan kepada Heru.
Ardito menyampaikan pihak kejaksaan sudah memaparkan poin-poin dan argumentasi soal tuntutan hukuman mati terhadap Heru. Pihak Kejaksaan menganggap Heru mengulangi perbuatan korupsinya seperti dalam kasus Jiwasraya.
"Poin-poin sudah diterangkan, perbuatannya mengulangi kasus Jiwasraya. Namun ini putusan hakim. Kalau beda pendapat silahkan," kata Ardito kepada wartawan di PN Tipikor Jakpus.
Ardito juga menyadari, salah satu pihak yang menolak hukuman mati terhadap Heru ialah para aktivis HAM termasuk Komnas HAM. Ia menghargai perbedaan pendapat itu. "Berpendapat dipersilahkan. Intinya saya kembali lihat putusan hakim terkait tuntutan jaksa," ujar Ardito
Baca juga: Kasus Asabri, Ekonom: Pengawasan Produk Investasi Perlu Diperketat