Rabu 19 Jan 2022 06:33 WIB

MK Kabulkan Penarikan Kembali UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

MK telah menerima surat dari pemohon perihal pencabutan Perkara

 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Selasa (18/1). (Ilustrasi)
Foto: Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Selasa (18/1). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Selasa (18/1/2022). Terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 69/PUU-XIX/2021 ini, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan MK telah menerima surat dari pemohon perihal pencabutan Perkara Nomor 61/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021.

Pada 23 Desember 2021, Kepaniteraan MK menerima surat pernyataan dari pihak pemohon tentang pencabutan permohonan. Awalnya pemohon menyatakan UU HPP tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Baca Juga

Berikutnya pada 10 Januari 2022, MK telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui sidang panel. Akan tetapi, Pemohon tidak hadir walaupun sudah dipanggil dengan sah dan patut dengan surat Nomor 484.69/PUU/PAN.MK/PS/12/2021 bertanggal 29 Desember 2021 perihal panggilan sidang. MK juga telah melakukan konfirmasi melalui media Whatsapp  (WA) kepada pemohon pada 7 Januari 2022 dan mendapatkan jawaban Pemohon tidak akan ada yang hadir karena perkaranya dicabut.

Terhadap penarikan kembali permohonan, maka Rapat Permusyawaratan Hakim pada 13 Januari 2022 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan tersebut beralasan menurut hukum. Untuk itu, Pemohon dinyatakan tidak dapat mengajukan kembali permohonan serta MK memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan pada Pemohon.

"Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon; Menyatakan Permohonan Nomor 69/PUU-XIX/2021 mengenai permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali; Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo; Memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Nomor 69/PUU-XIX/2021 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon," kata Anwar dalam keterangan pers, Selasa (18/1/2022).

Dalam permohonannya, Pemohon menguji secara formil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Pemohon, ketentuan Pembentukan Undang-Undang secara konstitusional tidak diatur secara lebih terperinci dalam UUD 1945. Dalam Pasal 22A UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang yakni UU 12/2011. Dengan demikian UUD 1945 hanya mendelegasikan kewenangan konstitusional pembentukan peraturan perundang-undangan kepada UU 12/2011. Sehingga semua pembentukan perundang-undangan harus tunduk pada UU 12/2011 tanpa terkecuali termasuk Omnibus Law.

Kemudian, terhadap pengujian formiil pembentukan Undang-Undang, MK telah mengeluarkan putusan yang mengabulkan uji formiil, perihal Omnibus Law, yaitu Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pasca Putusan tersebut hingga permohonan ini diajukan, menurut Pemohon, UU 11/2020 belum direvisi untuk mengatur tata cara pembentukan Omnibus Law.

Dengan bertolak ukur pada Putusan 91/PUU-XVIII/2020, maka dapat dimaknai bahwa Omnibus Law diperkenankan selama tunduk kepada ketentuan dalam UU 12/2011. Sementara, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini merupakan undang-undang yang “satu jenis” dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimatikan oleh MK, yakni sama-sama merupakan Omnibus Law yang tata cara pembentukannya melanggar ketentuan dalam UU 12/2011.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement