Rabu 19 Jan 2022 07:02 WIB

NATO Kembali Undang Rusia Bahas Ketegangan di Ukraina

NATO tidak akan berkompromi pada prinsip NATO untuk membela sekutunya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
 Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg
Foto: AP/Francisco Seco
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg mengatakan telah mengundang kembali Rusia untuk membahas situasi serta ketegangan di Ukraina. Pembicaraan tersebut akan turut diikuti sekutu NATO.

Stoltenberg mengungkapkan, pertemuan lanjutan dengan Rusia untuk membahas Ukraina bakal digelar dalam waktu dekat. Pada kesempatan itu, NATO tak hanya akan menyampaikan keprihatinannya, tapi juga mendengar kekhawatiran Moskow. Setelah itu, dia berharap jalan keluar dapat didiskusikan.

Baca Juga

Kendati demikian, Stoltenberg menegaskan, NATO tidak akan berkompromi pada prinsip NATO untuk membela sekutunya. “Kami mengirim pesan yang sangat jelas ke Rusia jika mereka sekali lagi memutuskan menggunakan kekuatan terhadap Ukraina, itu akan menimbulkan konsekuensi tinggi bagi Rusia; sanksi ekonomi, keuangan, politik. Sekutu NATO juga memberikan dukungan ke Ukraina,” kata Stoltenberg seusai melakukan pertemuan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, Selasa (18/1/2022).

Mengingat ketegangan di perbatasan Ukraina masih tinggi, Stoltenberg menekankan dialog menjadi lebih penting perannya. “(NATO) akan melakukan segala upaya untuk menemukan jalan politik ke depan,” ucapnya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, saat ini negaranya sedang menunggu respons dari Barat atas tuntutan keamanan yang diajukan pada pertemuan pekan lalu. Lavrov mengungkapkan, Moskow hendak mengetahui terlebih dulu hal tersebut sebelum melanjutkan pembicaraan terkait Ukraina.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana. Hingga kini, ketegangan masih terjadi di wilayah tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement