UMM Kaji Digital Citizenship dan Pancasila
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan seminar daring bertema Pancasila di Era Digital Citizenship: Tantangan, Peluang, dan Prospeknya demi Indonesia Tangguh dan Tumbuh. | Foto: Humas UMM
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Aspek digital citizenship dinilai sangat penting untuk dipahami pada masa kini. Hal ini karena perkembangan dunia digital yang sangat pesat membuat masyarakat harus bisa beradaptasi dengan cepat pula.
Ketua Prodi PPKn Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Moh Mansur Ibrahim menjelaskan, dunia digital berkembang begitu cepat dan merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satunya dalam aspek ekonomi yang semakin ke sini semakin sedikit jumlah transaksi yang fisik. Sebab itu, semua hal bergeser ke uang digital.
“Selain itu, penggunaaan sosial media menuntut kita untuk terlibat dan berhubungan dengan dunia digital,” ungkap Mansur dalam seminar daring bertema Pancasila di Era Digital Citizenship: Tantangan, Peluang, dan Prospeknya demi Indonesia Tangguh dan Tumbuh.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Kokom Kumalasari menuturkan, konsep kewarganegaraan digital merujuk pada kualitas perilaku individu dalam berinteraksi di dunia maya. Khususnya dalam jejaring sosial dengan menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab sesuai dengan norma dan etika yang berlaku.
Dalam kewarganegaraan digital, kata dia, ada prinsip yang harus dibangun yakni menghormati diri dan menghormati orang lain. Kemudian mendidik diri dan mendidik orang lain, serta melindungi diri dan melindungi orang lain. Hal ini berarti ada saling hubungan antara diri sendiri dengan orang lain.
Untuk mencapai prinsip tersebut, terdapat sembilan elemen kewarganegaraan digital yang perlu dimiliki. Beberapa di antaranya seperti digital access, digital commerce, digital communication, dan digital literacy. Kemudian juga digital law, digital right & responsibilities, digital health & wellness, digital securiy, dan digital etiquette.
Menurut Kokom, membangun warga negara digital yang baik harus dimulai dari budaya sekolah. Hal ini juga bisa diintegrasikan dalam pembelajaran PPKn. Guru harus menerapkan kerangka Technological Pedagogical Kontent Knowledge (TPACK) dalam pembelajaran PPKn dengan strategi pembelajaran.
Di sisi lain, Kepala Humas UMM, Sugeng Winarno, memaparkan data digital civility index yang dirilis Microsoft pada Februari tahun lalu. Data tersebut menyatakan, warganet Indonesia paling tidak punya adab di internet. Oleh sebab itu, hal paling krusial adalah etika masyarakat dalam bermedia sosial.
Urgensi dari etika bermedia sosial bahkan mendorong Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan panduan bagaimana warga Muhammadiyah menggunakan media sosial. Prinsipnya, warganet Muhammadiyah diharapkan menjadikan media sosial sebagai wahana silaturahim. "Bermuamalah tukar informasi,dan berdakwah amar ma’ruf nahi munkar,” kata dia.
Sugeng juga membagikan tips bermedsos yang beradab, yaitu menggunakan nama asli. Kemudian membatasi informasi pribadi yang ada dan tidak sembarangan menerima undangan pertemanan. Selain itu juga tidak mudah percaya dengan teman, cek kebenaran informasi pemilik akun, tidak berkata kasar, tidak memposting foto pribadi, hingga menghindari ‘nyampah’ di timeline
Ia juga menilai, pemahaman akan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak kalah krusial dalam menciptakan warga digital yang beradab. Sebab, interaksi di media sosial tidak lepas dari Undang-undang ITE. Orang Indonesia banyak yang belum memahami hal itu sehingga mudah terjerat hukum. "Jadi, melek hukum digital juga sangat penting,” kata dosen Ilmu Komunikasi tersebut.
Sementara itu, dosen PPKn UMM, Nurul Zuriah memaparkan, konsep kewarganegaraan digital tidak bisa dipisahkan dari konsep pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ketika profil pelajar pancasila ini sudah tertanam, maka secara otomatis mereka akan menjadi a good digital citizenship.
Pada praktiknya, pengguna media sosial diharapkan selalu memegang etika bermedia sosial yang baik dan benar dengan selalu memperhatikan konsep THINK. Artinya, sebelum berkomunikasi di dunia digital, pengguna harus mempertanyakan tentang True, Hurtful, Illegal, Necessary, dan Kind. Ada berbagai tantangan dalam penguatan profil pelajar Pancasila di era digital citizenship yang harus dicermati.
“Belum lagi permasalahan keamanan data, etika berkomunikasi, kenyamanan, ancaman atau bulliying, hoax-hate speech, serta jaminan dan kepastian hukum. Itu adalah hal-hal yang harus kita pecahkan bersama,” kata dia menambahkan.