Rabu 19 Jan 2022 13:40 WIB

Mengenal Orang Sunda di Tanah Pasundan yang Dilukai Arteria Dahlan

Memilih mengalah bukan aib bagi Orang Sunda, asal tak menyinggung nilai kebenaran paling tinggi: harga diri, kehormatan, keyakinan, dan kata hati.

Rep: Kurusetra/ Red: Partner
.
.

Masyarakat Suku Sunda memegang teguh nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-hari. Foto: Masyarakat Baduy memainkan alat musik angklung. (Republika.co.id)
Masyarakat Suku Sunda memegang teguh nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-hari. Foto: Masyarakat Baduy memainkan alat musik angklung. (Republika.co.id)

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Politikus PDIP sekaligus anggota DPR RI Arteria Dahlan menjadi pembicaraan, terutama di kalangan warga Sunda, setelah dia meminta Jaksa Agung mencopot seorang kajati yang berbicara bahasa sunda. Ucapan Arteria itu pun memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama orang Sunda. Lantas, siapakah Orang Sunda yang hatinya dilukai Arteria?

Secara geografis Suku Sunda tersebar dari perbatasan Brebes-Cirebon hingga Ujung Kulon, Banten. Suku Betawi yang tinggal di wilayah DKI Jakarta juga sebenarnya adalah "darah daging" suku Sunda.

Antropolog Prof Koentjaraningrat menjelaskan, secara antropoligi-budaya, Suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, atau daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Sementara secara kultural ekologis, umumnya masyarakat Sunda hidup di daerah pegunungan atau daerah perbukitan.

Musisi sekaligus budayawan Sunda, Raden Machjar Angga Koesoemadinata menjelaskan, masyarakat Sunda adalah masyarakat yang cinta pegunungan. Hal itu dibuktikan dengan kehidupannya yang lebih banyak di daerah pegunungan dan pengelolaan wilayah pegunungan sebagai lahan pertanian dan peternakan.

"Selain itu bukti kedekatan masyarakat Sunda pada gunung atau pegunungan banyak diekspresikan melalui tembang-tembang Sunda yang bertemakan gunung atau kehidupan di pegunungan. Berdasarkan kontur alam gunung atau pegunungan, maka dalam kehidupan mata pencaharian masyarakat Sunda pada masa lalu dikenal sebagai masyarakat “peladang”, baik yang berladang secara menetap maupun peladang berpindah.

Masyarakat Sunda dalam interaksi sosialnya dituntut untuk mematuhi berbagai nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan sosial. Di antaranya adalah yang berhubungan dengan etika Sunda.

Ada ungkapan ciri sabumi ciri sadesa, yang artinya menekankan di setiap lingkungan ada ciri dan tata cara sendiri yang mempengaruhi tindak tanduk para penghuninya. Dari sisi etika, ungkapan itu menekankan bahwa orang Sunda punya kesadaran jika di setiap lingkungan budaya tidak terkecuali budaya Sunda, memiliki nilai-nilai etis yang harus diterima para penghuni lingkungan tersebut. Nilai etis itu menjadi pegangan dasar kebiasaaan masyarakat Sunda di mana pun dia tinggal.

Jika orang Sunda merantau ke luar kampung atau ke luar tanah Pasundan, mereka akan cepat akrab jika bertemu dengan orang yang berbicara menggunakan logat Sunda. Secara emosional, kedekatan daerah membuat orang Sunda yang bertemu di perantauan akan merasa memiliki saudara.

Meminjam pernyataan penulis Sunda yang melegenda Suwarsih Djojopuspito, tentang keseimbangan Orang Sunda. Ia berkata, "Harmoni, kerukunan, kedamaian, dan ketentraman dalam pandangan orang Sunda tampak menduduki peringkat utama dalam urutan kebutuhan untuk hidup bersama dalam masyarakat."

"Mengalah demi memenuhi kebutuhan itu merupakan perbuatan terpuji dan bukan aib dalam pandangan orang Sunda. Sepanjang tidak menyinggung nilai kebenaran yang dianggap paling tinggi: harga diri, kehormatan, keyakinan, dan kata hati."

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement