Rabu 19 Jan 2022 15:13 WIB

Vonis Nihil Terdakwa ASABRI Heru Hidayat, Sebuah Kemenangan Bagi Koruptor?

Vonis nihil Heru Hidayat seakan tidak menyentuh dampak bahaya korupsi.

Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta,Selasa (18/1/2022). Majelis Hakim menjatuhkan vonis nihil kepada terdakwa Heru Hidayat karena sudah mendapatkan hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta,Selasa (18/1/2022). Majelis Hakim menjatuhkan vonis nihil kepada terdakwa Heru Hidayat karena sudah mendapatkan hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara

Majelis hakim menjatuhkan vonis nihil bagi Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat yang terbukti melakukan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Angkatan Bersenjatan Republik Indonesia (ASABRI) serta tindak pidana pencucian uang. Heru padahal tak hanya terlilit kasus ASABRI, tapi juga sudah divonis dalam perkara korupsi Jiwasraya.

Baca Juga

Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai vonis nihil bagi terdakwa kasus korupsi Heru Hidayat sebagai bentuk kegagalan dalam membuat terobosan hukum. Azmi memandang vonis nihil terhadap Heru sebagai fakta empirik penegakan hukum yang tidak berkualitas.

Ia menuding hakim keliru dalam menerapkan hukum karena mestinya perbuatan Heru menjadi alasan pemberatan hukuman. Maklum saja, Heru terlibat dalam megakorupsi PT ASABRI dan Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya, Heru dihukum penjara seumur hidup.

"Hakim tidak berusaha keras melakukan terobosan hukum, padahal pertimbangan hakim telah memuat fakta hukum, keadaan dan alat pembuktian yang terungkap di persidangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti yang semestinya menjadi keadaan yang memberatkan hukuman. Tapi, yang ada malah kok amar putusan pemidanaannya yang nihil," kata Azmi kepada Republika, Rabu (19/1/2022).

Azmi menganggap majelis hakim membatasi jangkauan hukum dan menyempitkan pemaknaan hukum. Sehingga vonis Heru tidak menyentuh dampak bahaya korupsi. Padahal menurutnya korupsi yang dilakukan Heru masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi sebagai tindak pidana khusus yang berbeda penerapannya dengan pidana umum.

"Apalagi mengingat keadaan korupsi di Indonesia sudah menjadi keadaan yang darurat, harus diberantas sehingga semestinya dalam keadaan yang darurat memperbolehkan hakim apa yang tadinya tidak diperkenankan oleh hukum, dalam hal ini menyimpangi Pasal 67 KUHP guna menegakkan hukum itu sendiri dan rasa keadilan," ujar Azmi.

Dalam vonis nihil terhadap Heru, majelis hakim mengutip Pasal 67 KUHP yang mengatur 'seseorang yang sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu'. "Termasuk dalam hukum pidana akan melihat unsur kesalahan berdasarkan kasus per kasus (animus and se one just ducit). Jadi, di sini semestinya ada ruang dan dasar hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum," kata Azmi.

Oleh karena itu, Azmi menyayangkan vonis nihil terhadap Heru yang sebenarnya dinyatakan bersalah. Vonis ini seakan membuat kesalahan Heru tak diganjar dengan hukuman badan apa pun selain uang pengganti Rp 12,643 triliun yang sesuai tuntutan jaksa.

"Sanksi penjatuhan pidana pada pelaku jadi hampa, padahal perbuatan terdakwa dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang namun dihukum nihil? Ini jelas penyimpangan," ujar Azmi.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Despan Heryansyah menyarankan agar hukuman Heru Hidayat diperberat dengan pencabutan berbagai haknya sebagai warga sipil. Pusham UII mengganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa sekaligus melanggar HAM. Despan menyebut Heru dalam kasus korupsi Jiwasraya telah melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan asuransi yang layak dan memadai sehingga telah melanggar HAM. Kerugian negara dalam kasus ASABRI pun fantastis mencapai Rp 22,7 triliun.

 

"Oleh karena itu, pelaku layak mendapatkan hukuman yang berat dalam rangka melindungi hak masyarakat tersebut," kata Despan kepada Republika.

Despan memang menyatakan tak sepakat dengan hukuman mati terhadap Heru karena melanggar hak dasar dan martabat kemanusiaan pelaku. Namun, ia menyinggung agar berbagai hak Heru dicabut. Ia juga meminta agar denda atau ganti rugi yang mesti dibayar Heru harus lebih tinggi daripada yang saat ini diketuk palu.

"Hakim bisa saja memperberat hukuman misalnya dengan mencabut hak-hak yang lain atau memperbesar pidana denda atau ganti rugi keuangan negara. Mengingat nominal korupsinya mencapai Rp 22 triliun, seharusnya lebih banyak ganti rugi dalam vonis hakim," ujar Despan.

Lebih lanjut, Despan menyebut salah satu hak Heru yang bisa dicabut adalah hak politik. Menurutnya, usul hukuman pencabutan hak-hak sipil Heru ini mesti dipertegas agar benar-benar tak digunakan Heru di kemudian hari bila mendapat pengurangan masa hukuman.

"Bisa saja hak memegang jabatan tertentu, juga hak memilih dan dipilih. Sebetulnya yang bersangkutan sudah dipidana seumur hidup maka secara otomatis hak-hak tersebut juga akan hilang. Namun, dalam proses menjalani hukuman, bisa saja terjadi pengurangan masa pidana di lembaga pemasyarakatan, sehingga perlu juga ditegaskan hak-hak yang dicabut tersebut," ucap Despan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement