REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengumumkan peningkatan kasus korupsi di PT Garuda Indonesia (GIAA) ke level penyidikan. Dari hasil pengumpulan bukti-bukti, dan kronologi kasus, sementara ini tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mencatat kerugian negara terkait perkara rasuah yang terjadi dalam pengelolaan perusahaan maskapai penerbangan milik pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp 3,7 triliun.
“Kami (Kejakgung) sudah menangani perkara korupsi di PT Garuda ini, dan pada hari ini (19/1/2022), kami menaikkan dari penyelidikan ke proses penyidikan,” ujar Burhanuddin, di Kejaksaan Agung (Kejakgung), Rabu. Burhanuddin mengatakan, pada tahap awal penyidikan, tim di Jampidsus, akan mengungkap soal korupsi dalam pembelian, dan sewa kapal terbang jenis ATR 72-600.
Akan tetapi, dikatakan dia, skandal pengadaan armada penerbangan tersebut, akan terbuka ke dugaan-dugaan korupsi dalam pembelian, dan sewa pesawat jenis lainnya di GIAA. “Ada beberapa pengadaan, pembelian, dan kontrak pinjam atau apapun itu nantinya, kita kembangkan,” ujar Burhanuddin.
Dia mengatakan, seperti indikasi korupsi, pada pengadaan, pembelian, dan sewa pesawat jenis lain, CRJ 1000, Aibus A 330, dan A 320, maupun Roll-Royce Trent 700. “Kita akan tuntaskan perkara ini,” sambung dia.
Jampidsus Febrie Adriansyah menjelaskan, selain korupsi pengadaan pesawat ATR 72-600, timnya, pada tahap awal penyidikan juga akan menyasar soal pembelian kapal terbang bombardier. Febrie mengatakan, membatasi pengungkapan kasus tersebut, pada periode pengadaan 2009-2014, sampai pada tahap kedatangan. Kata dia, pada periode tersebut, tim penyidikannya akan mendalami peran semua pejabat, maupun pengelola di PT GIAA.
Dalam hal tersebut, kata Febrie, paling utama terkait dengan peran eks Direktur Utama GIAA, Emirsyah Satar. “Kerugian negara yang sudah dalam penyidikan kasus ini, saat Garuda dijabat oleh ES,” ujar Febrie.
Ia mengatakan, Emirsyah, sudah diperiksa, dan dimintai keterangan sejak dari penyelidikan, maupun pada tahap penyidikan berjalan. “Karena yang bersangkutan, sudah berada dalam tahanan sebagai terpidana oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” terang Febrie.
Febrie mengungkapkan, terkait kasus tersebut, tim penyidikannya sudah mengantongi sejumlah angka yang menjadi acuan sementara penghitungan kerugian negara. “Kerugiannya cukup besar,” ujar Febrie menambahkan. Tetapi kata dia, untuk angka pasti kerugian negara tersebut, masih dalam penghitungan lengkap di lembaga auditor negara.
“Untuk kerugian memang belum bisa kita sampaikan secara detail. Tetapi, kerugian negara yang sementara sudah ada terhitung dalam pengadaan, dan sewa pesawat saja, indikasinya itu sampai sebesar (Rp) 3,6 triliun,” ucap Febrie.
Kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia berawal dari rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) 2009-2014. Dalam rencana tersebut, dikatakan, adanya kegiatan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 unit. Penambahan unit kapal terbang itu, dikatakan menggunakan skema pembelian atau financial lease, dan sewa atau operation lease buy back, melalui pihak lessor atau pihak penyedia jasa sewa, dan pembiayaan.
Kegiatan penambahan armada tersebut, sumber pendanaannya menggunakan lessor agreement atau kesepakatan dengan pihak penyedia. “Di mana pihak ketiga, akan menyediakan dana dan PT Garuda Indonesia, kemudian akan membayar kepada pihak lessor dengan cara pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi,” begitu terang Burhanuddin, Rabu (12/1/2022).
Dari RJPP tersebut, dikatakan terealisasi penambahan dua jenis armada pesawat. Yakni pesawat terbang ATR 72-600 sebanyak 50 armada, dengan komposisi 5 unit dilakukan pembelian, dan selebihnya 45 lainnya berstatus sewa. Pesawat terbang jenis lainnya, CRJ 1000 sebanyak 18 armada, dengan komposisi 6 unit dilakukan pembelian, dan 12 lainnya berstatus sewa.
“Bahwa atas pengadaan dan sewa pesawat tersebut, diduga telah terjadi peristiwa tindak pidana korupsi, yang menimbulkan kerugian negara, dan PT Garuda Indonesia, namun menguntungkan pihak lessor,” begitu kata Jaksa Agung.