REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Polisi Israel dilaporkan menghancurkan sebuah rumah di wilayah Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur pada Rabu (19/1/2022). Menurut keterangan, petugas datang ke rumah keluarga Salhiyeh sebelum fajar dan menyerang sejumlah penghuni di dalamnya. Hal ini disampaikan oleh pengacara yang mewakili keluarga tersebut, bernama Walid Tayeh.
“Pasukan Israel kemudian menghancurkan rumah itu setelah orang-orang di dalamnya dikeluarkan,” ujar Tayeh, dilansir Anadolu Agency pada Rabu (19/1/2022).
Tayeh mengatakan bahwa sekitar 20 orang, termasuk pemilik rumah ditangkap. Polisi Israel mengatakan pengusiran dilakukan berdasarkan persetujuan pengadilan atas tuduhan bangunan tersebut ilegal.
Rumah keluarga Salhiyeh disebut sebagai bangunan yang diperuntukkan menjadi sebuah sekolah. Kediaman warga Palestina ini telah menjadi konflik sejak 2017, saat Pemerintah Israel mengalokasikan tanah menjadi sebuah fasilitas pendidikan.
Keluarga Salhiyeh mengatakan mereka telah tinggal di rumah itu sejak 1948 setelah mereka diusir dari lingkungan Ein Karen di Yerusalem Barat.
Sheikh Jarrah menjadi wilayah di mana beberapa keluarga Palestina berisiko dipindahkan secara paksa oleh pemukim Israel yang mengklaim kepemilikan rumah mereka. Hukum negara itu mengizinkan warga Yahudi mengklaim harta benda yang hilang pada 1948, namun tidak ada hak serupa bagi warga Palestina yang dipindahkan secara paksa dari rumah mereka pada saat yang sama.
Ketegangan di Sheikh Jarrah secara khusus terjadi sejak Mahkamah Agung Israel menawarkan warga Palestina untuk tetap tinggal di Sheikh Jarrah sebagai ‘penyewa’ di rumah mereka selama 15 tahun.
Menurut proposal yang diajukan kepada keluarga Palestina dan asosiasi pemukiman, mereka akan diakui sebagai ‘penyewa yang dilindungi’ selama 15 tahun atau sampai kesepakatan lain tercapai. Selama periode itu, warga Palestina yang tinggal di rumah-rumah wilayah tersebut dan terancam pengusiran akan membayar sewa kepada organisasi pemukim Nahalat Shimon, yang mengklaim kepemilikan tanah tempat rumah-rumah itu dibangun.
Banyak keluarga Palestina menolak tawaran itu, dengan alasan ini akan menyiratkan mereka mengakui kepemilikan pemukim Israel atas rumah.