Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NINDYA CIPTA KARIZA

Polemik Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)

Politik | Thursday, 20 Jan 2022, 00:15 WIB

Kekerasan seksual merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi pada satu jenis kelamin, khususnya kekerasan seksual, tetapi juga menghantui berbagai usia dan kelompok masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, mulai dari kekerasan offline yang membutuhkan kontak fisik hingga kekerasan online melalui media virtual (seperti dilansir Komnas Perempuan). Langkah yang sedang berlangsung mengenai tingginya jumlah kekerasan seksual di Indonesia benar-benar mengungkapkan kebenaran yang menyedihkan di baliknya. Hingga saat ini, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk semua pelanggaran dan kekerasan seksual, yang menciptakan kekosongan dan ketidakpastian hukum. Padahal, penting bagi negara untuk membuat regulasi yang melindungi korban kekerasan seksual.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) selalu diharapkan akan segera dibahas dan disahkan demi penghapusan kekerasan seksual dan jaminan akan hak-hak korban. Namun, paska Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)Agustus 2021 lalu, judul hingga konsep RUU PKS banyak yang diubah. Draf terbarukan dari RUU PKS versi Baleg DPR RI yang baru saja beredar malah mengesampingkan berbagai elemen-elemen yang luar biasa penting demi penghapusan kekerasan seksual itu sendiri.

Reformasi supremasi hukum tidak bisa dihindari. Negara-negara perlu menanggapi berbagai isu yang berkembang untuk menciptakan aturan yang tepat sasaran dan kuat. Sebelumnya, RUU PKS mengatur sembilan jenis kekerasan: pelecehan seksual, kawin paksa, kontrasepsi paksa, aborsi paksa, pemerkosaan, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, dan perbudakan seks dan penyiksaan seksual. Sementara itu, RUU TPKS atau RUU terbaru hanya mengatur empat bentuk kekerasan: pelecehan seksual, penggunaan pil KB secara paksa, seks paksa, dan eksploitasi seksual.

Melalui perjuangan yang panjang untuk segera disahkan, para penguasa justru berupaya melemahkan. Padahal, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus dari total jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang mencapai angka 11.637 (dilansir melalui kemenpppa). Banyak ditemui pula korban diantara kasus-kasus tersebut dipaksa untuk menandatangani surat damai, sehingga pada situasi ini sudah seharusnya menjadi cerminan bersama untuk kembali mengawal pengesahan RUU PKS. Namun demikian, alih-alih menjadi pelindung bagi korban, draf RUU PKS justru memuat banyak sekali perubahan yang merugikan mereka secara signifikan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut menghilangkan napas dan esensi utama rancangan, yang berperspektif korban dan keadilan yang tidak hanya bersifat punitif.

Pejabat tidak boleh menutup mata terhadap status quo dan situasi terkini terkait meningkatnya kasus kekerasan seksual. Padahal, upaya penegakan UU Pemberantasan Kekerasan Seksual harus menjadi perjuangan kolektif. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan negara yang adil dan makmur serta keamanan bagi semua. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh menyerah dan mengesampingkan peran masyarakat untuk terus mengontrol legislasi PKS..

Namun nyatanya, masih ada banyak pihak yang menentang hadirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) legislasi yang disusun untuk melindungi korban kekerasan seksual dengan alasan yang beraneka ragam. Di tengah masyarakat awam, ketidakpahaman tentang konsep kekerasan seksual mengakibatkan sebagian orang menganggap negatif rancangan undang-undang ini. Lalu mengapa kita harus memahami konsep kekerasan seksual dan dampaknya terhadap korban, serta mendukung pengesahan RUU PKS?

1. Kasus kekerasan seksual makin meningkat

Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan yang diterbitkan pada kuartal pertama tahun 2020 melaporkan bahwa jumlah kekerasan seksual selama tahun 2019 mencapai 432.471 kasus. Komnas Perempuan juga membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual naik sebanyak 792 persen selama 12 tahun terakhir.

Tidak hanya itu, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH Apik) mencatat 97 kasus kekerasan seksual sepanjang Maret-April 2020. Data-data tersebut menunjukkan betapa pentingnya payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual.

2. Banyak korban kekerasan seksual adalah anak perempuan

Komnas Perempuan juga mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Pada tahun 2018, kasus kekerasan tipe ini berjumlah 1417 kasus. Namun tahun lalu, jumlahnya mencapai 2341 kasus atau mengalami kenaikan 65%, dengan bentuk kekerasan paling banyak adalah incest (770 kasus), dan diikuti dengan pelecehan seksual (571 kasus). Pengertian incest adalah kekerasan seksual di dalam rumah yaitu dengan pelaku yang memiliki hubungan darah,

Dominannya kasus inses dan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa sejak usia anak, perempuan telah berada dalam situasi yang tidak aman, bahkan dari orang terdekat dalam kehidupannya.

3. Korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum yang memberi rasa keadilan

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana hanya mencakup dua hal yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan.

Sementara dalam RUU PKS, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual, dan (9) penyiksaan seksual.

Definisi kekerasan seksual yang lebih luas dalam RUU PKS akan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini lolos dari hukum hanya karena tindakan mereka tak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana.

4. Korban kekerasan seksual butuh perlindungan

Permasalahan utama yang sering dialami oleh keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual adalah mereka sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam kesaksian mereka. RUU PKS tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tapi juga memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum.

Hal lain yang membuat RUU ini penting untuk didukung adalah keberadaan unsur rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual. RUU PKS tidak hanya melindungi para korban pelecehan seksual, tapi RUU ini juga memberikan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual (pasal 88 ayat (3)). Fungsi dan tujuan rehabilitasi ini adalah mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.

Korban kekerasan seksual memerlukan kepastian hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku. Mereka membutuhkan bantuan kita untuk memperoleh keadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image