Pembaharuan Islam Disebut Berbasis pada Tradisi
Rep: My40/My41/ Red: Fernan Rahadi
Studium Generale: Menimbang Tradisi Sebagai Basis Tajdid Pemikiran Islam di Era Baru yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (19/1). | Foto: Tangkapan layar Zoom
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --Pemikir kebinekaan, Sukidi menekankan bahwa pembaharuan Islam tidak berbasis pada teks melainkan pada tradisi. Menurutnya, kembali pada teks, dalam hal ini Alquran dan Sunnah, adalah tindakan yang sulit dan bisa saja sia-sia. Sebab, menurut dia, Alquran dan Sunnah adalah teks yang bisu, diam, penuh ambiguitas, bahkan tanpa makna.
"Saya ingin menegaskan bahwa pembaharuan Islam bukan dengan kembali pada Alquran dan Sunnah, tetapi kepada tradisi karena quran tanpa tradisi has no meaning. Alquran tanpa dijelaskan dengan tradisi secara spesifik tidak ada maknanya karena makna dalam Alquran sebagai teks adalah produk dari tradisi itu sendiri," kata Sukidi, dalam acara "Studium Generale: Menimbang Tradisi Sebagai Basis Tajdid Pemikiran Islam di Era Baru" yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (19/1).
Sukidi menambahkan, dengan kembali ke tradisi maka akan melihat bahwa Alquran kaya akan makna. Dalam artian, ada beragam penafsiran dalam Alquran sebagai teks sehingga sifatnya multivocality.
Tradisi, dalam pengertian Sukidi, adalah merujuk kepada tradisi penafsiran Alquran dari komunitas dan generasi penafsir dalam khazanah Islam yang begitu sangat kaya. Dengan kata lain, makna dalam Alquran hanya hadir ketika ada interaksi secara intens dan historis antara teks Alquran dengan komunitas penafsir.
Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah, sepakat bahwa pembaharuan pemikiran keislaman itu bukan berbasis teks, tetapi berbasis tradisi.
"Saya sepakat kalau pembaharuan itu memang pembaharuan tradisi, namun di tanah air sudah terlanjur ada stigmatisasi tradisional dan pemikiran modern, padahal yang dimaksud adalah habits of mind atau kebiasaan-kebiasaan berpikir kita itu bagaimana," katanya.
Lebih lanjut, Amin menyebut bahwa tantangan baru dalam 20-30 tahun terakhir ini adalah sebagian pemikiran keagamaan atau keislaman muhammadiyah beririsan dengan corak berpikir kelompok-kelompok ekstrem dan intoleran yang menjamur.
"Corak pembaruan yang kembali pada teks Alquran dan Sunnah itu memunculkan corak berpikir yang disebut islamis atau sebagian jihadis, dalam literatur asing disebut salabism, kombinasi antara salafi dan wahabi, dan itu menjadi jihadis dan juga ISIS," kata Amin.