Jumat 21 Jan 2022 16:18 WIB

Robohnya Proyek Idealisasi Kolonial Bahwa Jawa Bukan Islam

Pemikiran Jawa itu bukan Islam ternyata proyek kolonial untuk melanggengkan kekuasaan.

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Muhammad Subarkah
.

Anak-anak<a href= santri di Jawa mengaji tempo dahulu." />
Anak-anak santri di Jawa mengaji tempo dahulu.

Pikiran banyak orang yang kerap menyebut Jawa itu bukan Islam seudah sering didengar. Tuduhan bahwa orang dan budaya Jawa merasuk Islam diibaratkan setipis kulit ari terdengar di mana-mana dari dahulu sampai sekarang. Tak hanya orang Jawa, mereka yang ahli juga percaya mitos ini. Katanya: di dalam sari pati Jawa sesungguuhnya adalah Hindu. Apakah begitu?

Idealita bahwa Jawa hari ini bukan Islam semacam ini makin kuat ketika ada tesis dari sosiolog Amerika Serikat yang melakukan penelitian di akhir tahun 1950-an, Clifford Geertz. Lahirlah dan menguatlah apa yang dia sebuat sebagai pembagian masyarakat Jawa dalam tiga bagian (trikotomi), yakni santri, priyayi, dan abangan. Walapun sejak awal trikotomi ini digugat sekaligus dibantah oleh para pakar seperti mendiang Prof DR Harsya Bachtiar, tapi ide ini lestari sampai sekarang. Padahal masyarakat Jawa tidak seperti itu, apalagi kalau dikaitkan dengan ke dalaman pemahaman atas ajaran Islam.

Pembagian santri dan abangan masih masuk akal, tapi akan bermasalah kalau trikotomi itu menyangkut soal apa yang disebit sebagai ‘priyayi’. Karena pengertian priyayi adalah terkait dengan struktul sosial masyarakat yang bersifat permanen. Sedangkan abangan dan santri itu soal pemahaman keagamaan seseroang yang sifatnya berubah. Abangan bisa berubah jadi santri, namun priyayi tak mungkin berubah menjadi abangan atau santri.

Kenyataan ini menginagtkan pada pernyataan mendiang DR Nurchlis Madjib beberapa tahun silam. Dia menyatakan bahwa ‘trikotomi’ yang dibuat Geertz lebih tepat bukan sebagai bagan pelapian orang Jawa. Apalagi dalam hal agama, orang Jawa punya idealita seperti para wali, misalnya Sunan Kalijogo, di mana kala muda dia adalah orang abangan (perampok) ketika menginjak usia tua dia jadi seorang santri, bahkan wali.

‘’Contoh yang paling gampang Pak Harto itulah. Di masa muda bisa saja dia abangan. Dia jelas Islam palagi sempat sekolah di perguruan Muhammadiyah. Lalu setelah tua dia ‘madeg’ menjadi santri, bahkan Bersama isteri ibu Tien Suharto yang juga bisa disebut priyayi dan abangan menjadi santri. Jadi trikotomi Geertz itu bukan yang ajeg, tapi berubah-ubah,’’ ungkap Nurcolish Madjid.

Bantahan terbaru bahwa dasar budaya Jawa hari ini bukan Hindu, melainkan Islam terlihat pada temuan peneliti Amerika Serikat, Nancy K. Florida. Dia membantah kenyataan itu melalui penelitain tentang manuskrip Islam di Jawa: Javanese Literature in Surakarta, Volume I.II, & III, (tahun 2000-20012).

Sanggahan keras bahwa Jawa itu bukan Islam kemudian dikutip oleh pemikir muda Islam. Irgan Afifi dama dalam bukunya yang bertajuk: Saya, Jawa, dan Islam, yang diterbitkan penerbit tanda baca tahun 2022. Dalam buku itu, Irfan menyebut bila Nanci K Florida adalah orang barat pertama yang mendapat gelar ningrat dari Keraton Suraklarta dengan sebutan Mas Ayu Tumenggung Budayaningtyas. Florida benar-benar melakukan pekerjaan yang ‘gila’ yakni mendokumentasikan naskah-naskah Jawa kuna yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta, Istana Mangkunegaran, dan Perpustakaan Radya Pustaka. Sekira mulai dari tahun 1980, gadis kelahiran Evnsville, Indiana (Amerika Serikat) itu bergelut dengan melibatkan hampir tiga perempat juta halaman manuskrip.

Temuan Nancy K.Flodira yang kemudian meraih gelar Doktor dari Univeritas Cornell Amerika Serikat itu benar-benar merunuhkan dan melayan ‘khayalan’ Pigeaud (peneliti Islam Belanda era kolonial, red) bahwa Jaw aitu sebenarnya bukan Islam, alias pada dasarnya sebagai penerus Hinduisme.

Dalam penelitian Florida, yakni dari penanganan katalogisnya atas tiga koleski manuskrip keraton itu ditemukan bahwa dari 1.450 judul dari koleksi yang terdapat di dalamnya, hanya 17 karya yang merupakan klasik Kawi Kuno ke bait tembang Jawa Moderen yang disebut-sebut menandaai ‘renesian’ budaya Jawa yang selama ini diklaim itu. Jadi ini hanya 1 persen. Berkebalikan dari karya tersebut, terdapat hampir 500 judul yang lebih jelasnya merupakan ragam kesusateraan Islam, yakni lebih dari sepertiga dari seluruh koleksinya secara bulat. Pendeknya, untuk setiap karya yang diduga sebagai ‘karya klasik India’ malah terdaoat 30 teks yang justru jelas-jelas Islam dalam isinya. Nanci pun menegaskan:” Kesarjanaan kolonial telah benar-benar ‘gagal melihat’ signifikasi melimpahnya inskripsi Islam tersebut, dan dengan sengaja berusaha menegasikannya.

Bahlan menurut Irfan, Nanci K Florida meringkaskan temuannya yakni dari 500 naskah di keraton Surakarta, hanya 17 yang ‘berbau’ Hinduisme. Selebihnya Islam. Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang selama ini dicitrakan Hinduistik, itu benar-benar sebuah khayalan dan ilusi.

Pada akhirnya saat ini, situasi ini akan segera terkonfirmasi ada perbedaan yang sangat besar antara idealita budaya Jawa antara sebelum dan sesudahnya berdirinya keraton Mataram Islam itu. Pada sebuah penelitian yang sebentar lagi menjadi temuan dalam sebuah disertasi seorang peneliti, dua wajah Jawa itu berbeda sangat kontras. Bila di Jawa Pra Mataram Islam, dunia Jawa mengidealkan semua yang berbau India, kala sesudah Mataram Islam hadir idealita itu berubah total, yakni ke imperium dunia saat itu, yakni ke Khalifahan Ottoman. Wajah ini yang paling jelas terlihat ada pada tata kota ibu kota keratirn Mataram Islam, baik yang ada di Solo, Yogyakarta, yang jelas-jelas meniru cara tata kota Ottoman.

Jadi hal mana lagi yang bisa didustakan?!

sumber : https://algebra.republika.co.id/posts/32221/robohnya-proyek-idealisasi-kolonial-bahwa-jawa-bukan-islam-
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement