REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kesembilan Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut berlangsung pada Kamis (20/1/2022) di Gedung MK secara virtual.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Pemerintah menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya seputar penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Tiga ahli dimaksud yakni, Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia Rianto Setiabudy, dokter spesialis saraf Aris Catur Bintoro dan dokter spesialis saraf Uni Gamayani.
Rianto menjabarkan prinsip-prinsip ilmiah mengenai penerimaan penggunaan suatu obat untuk indikasi tertentu sebelum dikeluarkannya izin edar. Ia mengatakan, penggunaan obat yang baik dan benar harus didasarkan pada bukti ilmiah yang menunjukkan manfaatnya melebihi atau minimal seimbang dengan risikonya. Prinsip selanjutnya, pembenaran penggunaan suatu obat oleh negara harus didasarkan pada bukti ilmiah yang cukup bahwa obat itu aman, efektif dan dibuat dengan mutu yang baik.
Menurut Rianto, penggunaan obat yang baik dan benar harus ditunjang oleh data penelitian baik pada hewan maupun manusia yang dikerjakan dengan metodologi yang memenuhi kaidah ilmiah. Pemberian persetujuan penggunaan suatu obat atau zat bisa bervariasi antarnegara karena terdapat perbedaan masyarakat di tingkat pendidikan, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, budaya, agama.
Kemudian, ketika dibuat suatu pilihan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat banyak maka kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak diletakkan pada tempat lebih tinggi dibandingkan kepentingan individu dan tentunya ini dilakukan tanpa melupakan kepentingan individu. Ia menyebut, dalam menilai kelayakan suatu obat atau suatu pengobatan urutannya adalah dibuktikan lebih dahulu dengan penelitian baru kemudian diizinkan penggunaannya bukan, sebaliknya.
"Kita tidak tergesa-gesa menyatakan bahwa kanabis dapat digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena kita berhadapan dengan suatu zat yang berpotensi menimbulkan masalah sosial yang besar terutama menyangkut kualitas generasi muda kita. Selain itu, sudah tersedia banyak pilihan obat dalam formularium Nasional maupun daftar obat esensial nasional untuk keperluan indikasi yang disebutkan untuk kanabis itu," kata Rianto dalam sidang itu dikutip dari situs resmi MK, Kamis (20/1).
Kemudian, Aris menjelaskan strategi pengobatan epilepsi bertumpu pada penegakan diagnosis, pemilihan obat serta peningkatan pada beberapa faktor lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang tersebut. Menurut Aris, ketersedian obat anti-epilepsi di Indonesia telah merata dan tata laksana epilepsi sudah baik.
Aris menyebut penggunaan cannabis sebagai salah satu obat anti-epilepsi di Indonesia saat ini tidak diperlukan mengingat tidak banyaknya dukungan penelitian, masih kurang guideline tata laksana epilepsi yang menyertakan cannabis.
"Selain itu, adanya efek samping dalam pengunaan jangka panjang serta pilihan terapi yang lain seperti diet ketogenik masih bisa dimanfaatkan," ujar Aris.
Sementara itu, Uni menegaskan pemberian obat cannabinoid pada pasien epilepsi anak tidak diperlukan pada saat ini, mengingat obat yang sudah ada saat ini memadai. Penelitian yang ada masih belum cukup untuk menilai efektivitas dan keamanan obat- obat ini. Begitu juga dengan pemberian obat cannabinoid sebagai terapi spastisitas pada pasien cerebral palsy.
"Saat ini pengobatan tersebut belum diperlukan, mengingat hasil penelitian yang masih belum konsisten," ucap Uni.