REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan keseriusan pemerintah dalam menghadapi era disrupsi dengan meningkatkan investasi pada infrastruktur digital.
"Pemerintah tahun ini akan investasi besar-besaran untuk infrastruktur digital supaya wifi bisa masuk desa, karena yang namanya digitalisasi tidak bisa disetop," ujar Erick dalam acara Temu Tawa Bareng Comedy Sunday di Surabaya, Jawa Timur, Ahad (23/1).
Erick mengatakan Indonesia harus mewaspadai gelombang kedua disrupsi digital. Berbeda dengan gelombang pertama disrupsi digital yang hanya terjadi pada sektor retail, makanan dam minuman, serta transportasi, Erick menyebut sektor industri dalam gelombang kedua disrupsi digital jauh lebih banyak, seperti keuangan, kesehatan, asuransi, pendidikan, hingga media, yang beberapa di antaranya sudah mulai terjadi.
Erick menyebut gelombang kedua disrupsi digital dalam tiga tahun memiliki potensi nilai sebesar 90 miliar dolar AS. Erick mengatakan ekonomi digital Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai 124 miliar dolar AS dan berkontribusi 10 persen terhadap PDB Indonesia pada 2025.
Erick mengatakan keberhasilan dalam menghadapi gelombang kedua tak bisa dilakukan BUMN sendiri, melainkan memerlukan kolaborasi dengan swasta, UMKM, dan generasi muda.
Oleh karena itu, ucap Erick, Kementerian BUMN terus meningkatkan jumlah generasi muda yang duduk di jajaran direksi BUMN. Erick telah mencanangkan target jumlah direksi BUMN perempuan sebanyak 15 persen tahun ini dan meningkat menjadi 25 persen pada 2023 serta direksi muda sebesar lima persen tahun ini dan meningkat menjadi 10 persen pada 2023.
"Kita perlu generasi muda yang peduli," ucap Erick.
Erick mengatakan tantangan digitalisasi juga memberikan kesempatan besar bagi para generasi muda. Erick mengatakan Indonesia harus memanfaatkan momentum lantaran memiliki market besar sebagai negara dengan populasi terbesar keempat yang mana 70,72 persen penduduk berada pada usia produktif. Erick menyebut Indonesia juga diproyeksikan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan keempat terbesar dunia pada 2045.
Erick mendorong generasi muda tak hanya kreatif dan inovatif, melaikan juga memiliki diferensiasi dalam berkarya dengan mengedepankan keunikan masing-masing.
"Sekarang eranya semua akses sudah murah, bukan berarti mesti masuk TV untuk kita bisa populer. Banyak konten kreator yang mulai dari nol. Dengan disrupsi digital, kesempatan yang tadinya konglomerasi sekarang menjadi desentralisasi," ungkap Erick.
Erick mengambil contoh tentang perkembangan teknologi, seperti Non Fungible Token (NFT) yang tengah melejit di jagat maya. Erick menyampaikan kehadiran NFT memberikan seseorang kepemilikan atas aset digital berupa audio, gambar, hingga video di Metaverse atau dunia virtual.
Kondisi ini, ucap Erick, memungkinkan seseorang memperjualbelikan aset digital. Erick menilai dunia baru tersebut akan mengubah banyak hal seperti para pelukis yang akan mendapatkan dana dari setiap transaksi lukisan yang terjual.
Erick menyebut NFT sebagai sebuah kemajuan zaman yang harus disikapi dengan baik oleh para generasi muda. Oleh karena itu, Erick melalui BUMN terus mendorong generasi muda Indonesia mengembangkan potensi, skill, dan mindset digital. BUMN, ucap Erick, telah menyediakan wadah, baik melalui Indonesia Digital Tribe (IDT) hingga Merah Putih Fund dalam mendorong pertumbuhan konten creator lokal.
Erick mengatakan Indonesia memerlukan 17,5 juta tenaga kerja yang melek teknologi pada 2034. Peluang ini akan diambil negara lain jika generasi muda tak mampu memanfaatkan kesempatan tersebut.
"Bangsa Indonesia yang sekarang mayoritas populasi muda mau jadi konsumtif atau produktif. Ini mesti ada keseimbangan," lanjut Erick.
Erick mengatakan generasi muda menjadi kunci dalam kemajuan sebuah bangsa. Di era disrupsi saat ini, ucap Erick, anak-anak muda juga dapat berkontribusi dengan memberikan masukan terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah.
"Pemerintah juga harus terus mengubah pola pikir, jangan menjadi pejabat publik tapi masih concern perut sendiri, kalau jadi pejabat publik ya covernya perut rakyat," kata Erick.
Dalam era digitalisasi dan keterbukaan yang terjadi saat ini, Erick menyebut ruang publik semakin terbuka dalam mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. Erick menilai hal tersebut positif dalam menjaga aspek check and ballance.