REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser mengatakan Islam telah menjadi bagian dari budaya Jerman. Berbicara dalam sebuah wawancara dengan Suddeutsche Zeitung pada Rabu (19/1/2022), Faeser mengatakan Islam bagian dari Jerman.
Pemerintah baru berusaha menjadikan Jerman sebagai negara integrasi yang baik. Melansir Abna 21, Ahad (23/1/2022), Pemerintah federal yang baru ingin membuat migrasi tenaga kerja dan naturalisasi lebih mudah. Selain itu, rute pengungsi harus dibuat secara resmi untuk mencegah orang tenggelam.
"Di sisi lain, kami juga ingin memaksa pemulangan dan pemberangkatan sukarela bagi mereka yang tidak bisa tinggal," kata dia.
Dia juga menjawab kritik yang menuduhnya mempromosikan migrasi ilegal ke Jerman. "Sungguh menakjubkan betapa cepatnya Uni Eropa berpaling dari warisan Angela Merkel. Bagaimanapun, populisme murahan tidak membantu siapa pun," ujar dia.
Dia juga mengungkapkan kekhawatiran tentang kemungkinan munculnya serangan teror ekstremis dan domestik. Dia mencatat ketidakstabilan negara-negara seperti Afghanistan meningkatkan risiko dan dapat menciptakan tempat berlindung yang aman. Dia pun mengingatkan untuk meningkatkan kewaspadaan.
Dikutip di Middle East Eye, laporan tentang Islamfobia di Jerman, selama bertahun-tahun, wanita muslim Jerman berjuang melawan upaya sistematis pemerintah untuk mendikte apa yang boleh dan tidak boleh mereka kenakan di depan umum dan di tempat kerja. Selama pemilihan Jerman 2021 lalu, asisten TPS di kota barat Bergheim awalnya menolak mengizinkan seorang wanita muslim berusia 21 tahun yang mengenakan jilbab dan cadar memberikan suaranya.
Menurut laporan, petugas pemungutan suara tidak mengizinkannya untuk memilih dengan mengatakan pemilih harus dapat diidentifikasi. Wanita itu akhirnya diizinkan memilih setelah mengeluh kepada pejabat kota karena ini jelas merupakan pelanggaran terhadap haknya dan menunjukkan Islamofobia secara terang-terangan.
Pada Juli 2021, pengadilan tertinggi Uni Eropa memutuskan perusahaan dapat melarang karyawan mengenakan pakaian atau simbol keagamaan, termasuk jilbab, dengan alasan menghadirkan netralitas. Kasus ini mencuat setelah dua wanita muslim Jerman yang diskors oleh majikan mereka karena mengenakan jilbab.
Hiperpolitisasi identitas perempuan muslim di mana tokoh politik dan media memperdebatkan hak mereka untuk berkarier dan inklusi sosial, melebar hingga ke rasisme anti muslim langsung dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam sistem sekolah umum Jerman, data menunjukkan diskriminasi yang mengkhawatirkan terhadap siswa muda Muslim, khususnya perempuan, yang mengarah ke iklim harapan dan keputusasaan yang rendah.
Sebuah survei menemukan guru Jerman lebih cenderung merekomendasikan anak-anak non-etnis Jerman ke sekolah yang lebih rendah daripada murid etnis Jerman. Diskriminasi anti-Muslim yang dirasakan perempuan di lembaga-lembaga publik mencerminkan sikap umum Jerman terhadap hijab. Sebagai penanda identitas Muslim yang terlihat, ia dipandang sebagai antitesis terhadap budaya dan masyarakat Jerman.
Keputusan untuk berhijab dan menjadi muslim yang terlihat, mengubah status wanita Muslim, membuat mereka secara otomatis dibedakan. Sejumlah wanita Muslim, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mengatakan kepada MEE bahwa mereka terus-menerus menghadapi Islamofobia karena keputusan mereka untuk terlihat Muslim.
Jerman dan negara-negara barat lainnya memiliki prasangka yang tajam tentang bagaimana perempuan muslim diperlakukan dalam budaya dan agama mereka. Stereotip umum adalah bahwa perempuan muslim dari latar belakang migran cenderung tidak memasuki pasar kerja karena perbedaan budaya, seperti menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan anak.
https://en.abna24.com/news//german-interior-minister-says-islam-part-of-our-culture_1221203.html
https://www.middleeasteye.net/opinion/islamophobia-germany-not-even-seen-person