Ahad 23 Jan 2022 21:10 WIB

Taliban, Negara Barat, dan Masyarakat Sipil Afghanistan Mulai Berdialog

Pembicaraan dilakukan di tengah situasi kemanusiaan yang memburuk di Afghanistan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Zabihullah Mujahid (tengah), juru bicara Taliban saat upacara peluncuran program oleh Taliban untuk menawarkan gandum sebagai imbalan tenaga kerja, di Kabul, Afghanistan, 24 Oktober 2021 (dikeluarkan 25 Oktober 2021).
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Zabihullah Mujahid (tengah), juru bicara Taliban saat upacara peluncuran program oleh Taliban untuk menawarkan gandum sebagai imbalan tenaga kerja, di Kabul, Afghanistan, 24 Oktober 2021 (dikeluarkan 25 Oktober 2021).

REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Delegasi Taliban yang dipimpin oleh penjabat Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi pada Ahad (23/1/2022) memulai pembicaraan di Oslo dengan pejabat pemerintah Barat dan perwakilan masyarakat sipil Afghanistan. Pembicaraan dilakukan di tengah situasi kemanusiaan yang memburuk di Afghanistan.

Pertemuan tertutup itu berlangsung di sebuah hotel di wilayah pegunungan yang tertutup salju di ibu kota Norwegia.  Pada hari pertama, perwakilan Taliban bertemu dengan aktivis hak-hak perempuan dan pembela hak asasi manusia dari Afghanistan dan diaspora Afghanistan. Sebelum pembicaraan, wakil menteri kebudayaan dan informasi di bawah kepemimpinan Taliban mengungkapkan harapan agar pertemuan di Norwegia menciptakan hasil yang baik. 

Baca Juga

"Kami berterima kasih kepada Norwegia, yang diharapkan akan menjadi pintu gerbang untuk  hubungan positif dengan Eropa," ujar wakil menteri tersebut mengutip pernyataan Muttaqi.

Selama pembicaraan, Muttaqi akan menekan tuntutan agar Amerika Serikat mencairkan dana cadangan bank sentral Afghanistan senilai hampir 10 miliar dolar AS. Taliban menekankan tuntutan tersebut karena Afghanistan menghadapi situasi kemanusiaan yang genting.

Kementerian Luar Negeri Norwegia mengatakan, delegasi Taliban juga akan bertemu dengan warga Afghanistan di Norwegia. Termasuk para pemimpin wanita, jurnalis dan orang-orang yang ahli dalam masalah hak asasi manusia dan kemanusiaan, ekonomi, sosial dan politik.

"Norwegia terus terlibat dalam dialog dengan Taliban untuk mempromosikan hak asasi manusia, partisipasi perempuan dalam masyarakat, dan untuk memperkuat upaya kemanusiaan dan ekonomi di Afghanistan untuk mendukung rakyat Afghanistan," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan.

Sementara delegasi AS, yang dipimpin oleh Perwakilan Khusus untuk Afghanistan Tom West, berencana untuk membahas pembentukan sistem politik perwakilan. Termasuk tanggapan terhadap krisis kemanusiaan dan ekonomi yang mendesak. West juga akan mengangkat masalah keamanan dan kontraterorisme, serta dan hak asasi manusia, terutama pendidikan untuk anak perempuan dan perempuan. 

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Norwegia, Anniken Huitfeldt menekankan bahwa, kunjungan Taliban bukan legitimasi atau pengakuan Norwegia terhadap Taliban. Tetapi, pemerintah negara Barat harus berbicara dengan Taliban yang saat ini memimpin Afghanistan

"Kami sangat prihatin dengan situasi serius di Afghanistan. Kondisi ekonomi dan politik telah menciptakan bencana kemanusiaan skala penuh bagi jutaan orang. Mereka menghadapi kelaparan di negara itu," kata Huitfeldt.

Perjalanan ke Norwegia ini adalah yang pertama kalinya sejak Taliban mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu. Sebelumnya Taliban telah melakukan perjalanan ke Rusia, Iran, Qatar, Pakistan, China, dan Turkmenistan.

Norwegia tidak asing dengan diplomasi sensitif. Pada masa lalu, Norwegia telah terlibat dalam upaya perdamaian di sejumlah negara, termasuk Mozambik, Afghanistan, Venezuela, Kolombia, Filipina, Israel, dan Wilayah Palestina.  , Suriah, Myanmar, Somalia, Sri Lanka, dan Sudan Selatan.

Baca: Penyu Bali Terganggu Klub di Pantai, Suara Bising Jadi Enggan Bertelur

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berhasil menyediakan beberapa likuiditas dan mengizinkan Taliban untuk membayar impor, termasuk listrik. Tetapi PBB memperingatkan bahwa sebanyak 1 juta anak Afghanistan dalam bahaya kelaparan, dan sebagian besar dari total 38 juta orang di negara itu hidup di bawah garis kemiskinan. 

Baca: Pantau Stok Minyak Goreng, Wali Kota Surabaya: Saya Bingung Ada yang Kehabisan

Baca: Daerah Diminta Perketat Prokes, Wapres: Kita tidak Ingin Covid-19 Seperti di Luar Negeri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement