REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi membuat isu kesenjangan digital naik ke permukaan. Hal ini tak lepas dari sejumlah fakta yang menegaskan bahwa belum semua masyarakat di dunia memiliki akses terhadap teknologi. Tak hanya di Indonesia, disparitas digital ini juga terjadi di berbagai belahan dunia.
Hal ini pun seperti menjadi gambaran konkret dari penelitian yang di gelar oleh Rutgers University. Profesor komunikasi Rutgers University, Vikki Katz, mengatakan, dirinya dan peneliti lain melakukan dua riset pada 2015 dan 2021 untuk mendalami soal kesenjangan digital.
Dari riset tersebut, terungkap kesenjangan digital bukan hanya soal ketersediaan gawai dan akses internet. Mengingat kesenjangan di gital juga muncul karena masih ada lapisan masyarakat yang belum mengakses jaringan internet yang berkualitas, baik dari segi kecepatan maupun stabilitas jaringan.
Fakta ini pun diperdalam lewat data dari Pew Research Center. Dalam riset pada April 2020, komposisi masyarakat berpenghasilan rendah yang mengalami hambatan digital adalah sebesar 59 persen. Persoalan krusial dari sekitar 30 persen responden itu, di antaranya, mencakup isu kesulitan membayar tagihan internet.
Kondisi ini pun berperan menambah jurang kesenjangan digital yang juga dimotori oleh adanya 2,9 juta anak yang belum bisa menikmati akses internet dan 2,1 juta anak yang belum tersentuh akses digital. Karena itu, diperlukan beragam upaya dari pemangku kepentingan untuk bisa menekan kesenjangan ini.
Salah satunya adalah upaya pemberian bantuan akses internet. Hal ini pun telah dilakukan oleh Chula Vista Elementary School District, California, AS.
Bantuan itu diwujudkan lewat penyaluran biaya akses internet kepada masyarakat yang membutuhkan. Bantuan itu pun dianggar kan selama tiga tahun sehingga ma syarakat berpenghasilan rendah bisa lebih leluasa dalam me nikmati jaringan dari rumahnya masing-masing.
Dikutip dari AP News pada pekan lalu, hingga saat ini, kesenjangan digital juga masih terjadi di New York, Amerika Serikat (AS). April Schneider, salah satu warga New York, mengaku sudah lebih dari satu tahun ia dan anakanaknya mengalami "siksaan digital" karena pandemi.
"Pandemi membuat anak-anak saya harus menjalani sekolah daring padahal kami tak memiliki banyak gawai serta akses internet yang memadai," ujarnya.
Saat pandemi sedikit mereda, lanjut April, sekolah mulai dilakukan dengan tatap muka, ia pun sempat merasa lega.
Namun, hantaman pandemi yang masih terjadi kembali memaksa sekolahsekolah kembali melakukan pembela jaran jarak jauh. Saat itu, ia pun merasa cukup tertekan karena harus kembali mengalami mimpi buruk.
Ia menganggap, hal ini menjadi mimpi buruk karena ia tak memiliki banyak gawai. Padahal, sekolah daring membutuhkan gawai untuk tiap anak karena jam pembelajaran dilakukan pa da saat bersamaan.
Selain itu, keluarganya juga merasa kesulitan untuk membayar tagihan internet yang membengkak. Alhasil, terkadang anaknya terpaksa harus melewatkan sejumlah sesi sekolah daring karena koneksi terputus.