REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, perempuan Indonesia secara historis terus berkiprah di segala bidang.
"Sejarah kita mencatat bagaimana seorang perempuan menegakkan amanat konsitusi, Ibu Megawati berjuang melawan otoritarianisme politik pada masa lalu menuju reformasi demokrasi, beliau juga menjadi Presiden perempuan pertama Indonesia serta inilah yang tercatat beliau mengikis apa yang disebut ideologi ibuisme pada waktu itu, pada saaat itu kencang sekali bahwa politik itu bukan ranahnya perempuan," kata Siti pada acara Webinar yang diadakan Bamusi PDIP dengan judul “Martabat dan Perjuangan Perempuan dari Persepektif Agama, Sejarah, dan Budaya”, dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/1/2022).
Bahkan, secara organisasi saja Muhammdiyah di tahun 2010 menetapkan Tarjih yang sudah disetujui oleh seluruh wilayah Indonesia. "Jadi tahun 2010 disahkan bahwa perempuan boleh menjadi presiden," ungkap Siti.
Senada, Ulama NU Nyai Badriyah Fayumi mengatakan, dalam perspektif Nadhatul Ulama, sebetulnya kepemimpinan perempuan itu sesuatu yang sudah selesai. "Beberapa buktinya adalah Ibu Megawati menjadi presiden wakilnya Pak Hamzah Has seorang Nadyinin, kemudian ketika Ibu Megawti menjadi calon presiden berpasangan dengan waktu itu KH Hasyim Musyadi," ungkap Fayumi.
"Artinya secara umum persoalan kepemimpinan di ranah publik di ranah politik dalam perseptif Nadhiyin itu sesuatu relatif yang sudah selesai," sambungnya.